Lailatul Qadar untuk siapa?


Oleh : Haryo K. Buwono

Menjelang akhir ramadhan selalu banyak yang beri’tiqaf di masjid. Niatannya macam-macam, ada yang ingin berintrospeksi diri dalam perenungan batin, ada pula yang ingin mendapatkan lailatul qadr (malam istimewa dari 1000 bulan). Apakah Tuhan menurunkan lailatul qadr di Malam hari pada satu masa? Kalau malam hari di Indonesia bukan berarti malam di belahan bumi sisi yang lain. Jadi lail disini apakah masih identik dengan malam kalau diturunkan pada satu masa? Ataukah Lailatul Qadar ini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang “tertentu” dimana kekhusukkan beribadah dalam konteks perenungannya memang “ikhlas” untuk Tuhan semata, sehingga “surgaNya” terhembus pada “saat” itu. Ketika “SurgaNya” terhirup oleh yang penuh keikhlasan saat menjalani masa i’tiqaf, maka rasanya seperti 1000 bulan rizkiNya.

Banyak sekali pertanyaan yang sering dimunculkan akibat ada “Hadiah” berupa Lailatul qadar ini. Sinyalemen yang terdapat dalam Quran Surat Al Qadr ayat 3 “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”, maka munculah manusia menebak-nebak kapan datangnya Lailatul Qadar ini. Muhammad, rasul umat muslim tidak pernah menceritakan cara atau bagaimana dan bahkan rasa saat mendapatkan lailatul qadar ini. Tetapi secara jelas disampaikan juga dalam al quran bahwa “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. Kapan datangnya? Adalah pada malam-malam ganjil. Ganjil yang dalam istilah, berarti aneh atau ganjil yang dalam angka, berarti gasal. Kalau yang mengartikan gasal, berarti tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29 bulan ramadhan. Sedangkan yang menyebut aneh (karena didasari Tuhan “suka” yang ganjil karena Tuhan sendiri Ganjil) maka bisa kapan saja.

Kalau digambarkan oleh grafik naik turunnya keimanan manusia dengan garis tegas Nur Illahi, "pas" saling bersinggungan pada titik asymtot waktu tertentu dan manusia tidak bisa duga. Waktunyapun sangat singkat, namun sudah selayaknya nikmatnya anugerah 1000 bulan. Luar biasa! Pertemuan sekejap, kenikmatannya melampaui umur manusia! Tidak terbayang jika sesudah matinya manusia dan kembali dalam pelukan Illahi tak terbatas waktu lagi! Jadi merinding!!

Perumpamaan kejadian lailatul qadr cukup beragam. Ada yang menyebut ketemu dengan cahaya terang sekali, ada yang menyebut kedinginan, kehangatan, suasananya tenang, damai dan lain-lain. Tetapi apakah yang menerima “kenikmatan” itu, masih bisa bercerita, karena sulit menceritakan kembali “keistimewaannya”? Muhammad rosul terakhirpun mampu untuk bercerita. Karena tidak ditemukan dalam Hadistnya tentang penggambaran malam qadr ini. Berarti manusia diminta mencari sendiri malam itu, agar bisa menemukan sendiri pula "rasa cinta" itu. Dalam pencariannya, tentu tidak dengan “nafsu”, tetapi dengan rasa tulus ikhlas. Dan pastinya, tidak mau dibatasi oleh waktu, entah itu malam gasal ataupun genap. Karena, kalau mau mencari “Nur Illahi” kok milih-milih waktunya, bisakah ketemu “saat qadr”nya? Muhammad cinta Tuhan tidak pilih waktu, maka Tuhanpun mencintai Muhammad sepanjang jaman. Buktinya, Islam dan Muhammad sebagai penyebarnya, tetap terjaga hingga kini. Semoga suatu saat saya mampu menemukan qadr-nya, "bukan" didasari karena “hawa nafsu” bahkan arogansi saat mampu menemukan "NurNya".

Read More

posted under , | 1 Comments

Jika Ramadhan itu hanya Ilusi


oleh : Haryo K. Buwono

Sebuah bilangan matematika sebenarnya adalah abstrak, namun karena diyakini maka angka tersebut menjadi bisa ditambah, dikurang, dibagi atau dikali. Kita mempresentasikan angka-angka berupa “kebohongan” statistikpun bisa menjadi patokan akan arti kebenaran. Manchester United saja percaya akan statistik ini, walau belum dijalani pertandingannya. Arti kebenaran disini tentu bukan absolut. Kebenaran absolut atau 100% hanya milik Tuhan Pencipta Semesta Alam.

Manusia berusaha mendekati akan penciptaNya. Misalnya keadilan, manusia menciptakan Hukum manusia yang masih mungkin dijungkir balikkan oleh si manusia itu sendiri. Manusia juga menciptakan sebuah partikel awal terciptanya alam semesta ini, lewat CERN, sebuah mega proyek di Eropa, yang masih dikhawatirkan mampu menjadi BlackHole di Bumi karena energinya mendekati kecepatan cahaya.

Jika semua itu diciptakan dengan keyakinan, maka segala permasalahan bisa diolah dalam naungan cita-cita atau obsesi. Begitu juga dengan Ramadhan, dimana Tuhan menciptakan satu bulan yang dinyatakan penuh rahmat dan ampunan. Namun untuk apa Tuhan menciptakan bulan itu? Kenapa harus Ramadhan? Kenapa Bukan Dzulhijah atau bulan-bulan yang lain yang dijadikan ”istimewa” itu?

Kalau nama bulan itu ciptaan Tuhan lewat perantaraan nabi-nabi, kenapa puasa yang diwajibkan atas manusia sebagai mana orang-orang terdahulu (Quran surat Al Baqarah 183) , itu dijatuhkan di bulan ramadhan? Berarti bukan nama bulannya yang penuh berkah, namun esensi puasanya itulah yang membangkitkan sendi-sendi nur Illahi dalam diri. Kalau bulan Ramadhan, manusia tidak menjalankan puasa atau puasa tapi hanya menahan lapar dan haus saja, apakah bisa mendapatkan safaat dari Tuhan Yang Maha Kasih? Jawabannya, Tentu Tidak! Tanpa didasari keimanan dalam menjalankan puasa kapan saja atau apa saja, entah karena wajib atau sunnah, tidak mungkin mendapatkan ”Berkah”Nya walaupun dikatakan ”Bulan Ramadhan adalah Bulan Penuh Berkah”. Berkah ini tentu bagi yang ”menjalani” dan siap ”ditempa” untuk mengendalikan hawa nafsunya. ”Pemaksaan” dengan kata wajib pada bulan ”Ramadhan”, ternyata sangat efektif. Dimana masa Ramadhan rasa saling memberi/berkasih sayang untuk sedekah, sangat tinggi, dan untuk mengendalikan nafsu-nafsu pun menjadi otoritas utama. Pada nuansa itulah rasanya seperti membelenggu setan-setan. Jadi yang membelenggu setan itu bukan ramadhannya, melainkan diri kita sendiri.

Adanya bulan tempaan ini, diharapkan, agar manusia selalu meningkat dari tahun ke tahun hingga akhir hayatnya. Dan, Brain wash di bulan ramadhan ini, bisa meningkatkan kecintaan dengan Tuhan, lewat ayat-ayat yang nyata, maupun mengilhami dari yang tertulis. Artinya pasca Ramadhan atau berlebaran, bukan diartikan lebaran yang berarti selesai (lebar, bahasa jawa) dan diakhirinya semua kegiatan kebaikan-kebaikan yang selama ramadhan telah dijalani. Memang lebaran artinya selesai atau di ”wisuda” bisa sukses menjalani esensi puasanya, namun tidak kembali lagi saat sebelum menjalani berpuasa ramadhan. Bila kembali, berarti gagal. Gagal ini dinyatakan oleh hati nurani manusia itu sendiri, sehingga nilai kepantasan untuk ”meningkat” tidak mampu direalisasikan. Jika ramadhan bukan ilusi, berarti nyata adanya perubahan pada diri ini. Semoga saya terus termotifasi meningkatkan diri dengan adanya Ramadhan yang penuh hikmah ini.
Read More

posted under | 0 Comments

Puasa, Jujur dan Konsistenitas


Oleh: Haryo K. Buwono

Puasa hari ini telah dimulai (Sabtu, 22/08/09), dan pada puasa hari pertama ini banyak waktu saya berada dalam Kereta Eksekutif Taksaka tujuan Yogyakarta – Jakarta. Kebetulan kereta berhenti di stasiun Kutoajo, Purworejo, tempat saya tinggal. Memang hari ini cukup nyaman untuk berpuasa. Dalam perjalanan menuju Jakarta ini ternyata ada hikmah kejadian yang cukup menggelitik, yaitu saat sebelum berangkat, masih di stasiun Kutoarjo. Kebetulan, ada percakapan 4 orang disebelah saya. Uraiannya sebagai berikut: “Pak perjalanan ini boleh membatalkan puasa khan? Jawab yang lain “Bisa tapi kalau sudah naik kereta dan keretanya sudah jalan”, yang lainnya lagi, mungkin suami dari yang bertanya, “Iya betul, kita khan katagori musafir”. Dan yang cenderung pendiam, cuma senyum-senyum penuh makna.

Saya merasa ada yang ganjil saat mendengarkan percakapan itu, pertama mau membatalkan puasa yang “diniati”, kedua, “kalau sudah naik kereta” dan yang ketiga “katagori musafir”. Saya merasa pertanyaan dan pernyataan itu memiliki bobot yang beragam. Saya memikirkan pertanyaan pertama, meniatkan membatalkan puasa. Sebenarnya puasa itu untuk siapa sih? Bukankah tidak ada yang memaksa untuk puasa? Tetapi kesan yang muncul, ada yang memaksa. Puasa itu, bukannya untuk keteguhan diri dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, termasuk diantaranya mengendalikan nafsu ingin makan dan minum? Kalau dari awalnya tidak ingin puasa, kenapa harus puasa? Puasa itu bukankah untuk diri pribadi, kejujuran dan bukan untuk ritualitas, atau puasa karena ”bulannya”. Apakah puasa karena malu kalau tidak berpuasa di bulan Ramadhan?. Innama a’malubinniat.

Pernyataan orang kedua tentang ”kalau sudah naik kereta”, jadi lucu kedengarannya. Puasa batal karena naik kereta. Karena alasan berpergian jauh maka harus membatalkan puasanya. Kenapa tidak saat waktu mulai dari rumah saja membatalkannya? Mungkin jarak dari rumah ke stasiun tidak jauh, jadi tidak perlu dibatalkan. Kalau naik kereta, jarak tempuhnya melampaui jarak kriteria harus membatalkan. Tuhan tidak memberatkan bagi umatnya untuk berpuasa, artinya niatannya puasa, tapi jika pada suatu saat tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan puasanya, maka harus menyegerakan membatalkannya. Jarak yang dimaksud jaman Rosul dan jaman sekarang tentu sama, tetapi kendaraan yang digunakan, itu yang berbeda. Dahulu Onta atau Kuda sekarang Kereta, Mobil dan Pesawat Udara. Apakah ”harus” membatalkan puasanya jika jarak tempuh itu digunakan transportasi Pesawat Udara, dimana Jogja ke Jakarta hanya ditempuh waktu 45 menit? Betapa malunya! Waktu terbitnya sang fajar hingga terbenamnya matahari sejajar dengan 45 menit! Luar biasa! Atau kalau naik kereta yang tidak memerlukan energi, yaitu hanya duduk dan diberikan sejuknya AC, ”harus” memikirkan untuk membatalkan puasa?

Kenapa pernyataan terakhir yaitu sebagai musafir adalah ”pembenar nafsu” makan dan minum manusia? Kalau memang berat untuk puasa kenapa mencari-cari pembenar untuk membenarkan tindakannya, atau ekstrimnya ”mengelabuhi” Tuhan dengan nafsu manusia. Seharusnya, kalau puasanya tidak kuat maka segera membatalkannya, dan ketika tubuh ini sudah pulih untuk berpuasa, maka lanjutkanlah puasanya, walau tidak terhitung sebagai puasa yang utuh. Tetapi bukankah ini menjadi alat penempaan diri pada keteguhan pada pengendalian nafsu? Semoga saya diberikan kemampuan mengendalikan diri pada nafsu-nafsu duniawi yang menghambat ”kepulangan” saya menghadap sang khaliq.
Read More

Tuhan Itu Maha Adil, Ah Masak Sih?


Oleh: Haryo K. Buwono

Saya merasa terlalu sering mendengar pernyataan bahwa Tuhan Maha Adil. Dan makin diperkuat lagi dari salah satu iklan penyedia komunikasi CDMA di televisi. Dinyatakan bahwa “Tuhan Maha Adil, khan ada hadistnya”. Jadi Tuhan mau dinyatakan adil kalau sudah dibuat pernyataannya, bukan dibuktikan, dan didoktrinkan. Manusia pada akhirnya tidak mau mencari sesungguhnya adilnya Tuhan itu ada dimana. Padahal Tuhan menuntut manusia untuk menggunakan akalnya untuk berfikir. Al Quran, yang jadi panduan umat islampun hampir 99% menuntut manusia untuk berfikir.

Kalau melihat tatanan atau peran manusia di dunia ini, sulit untuk menemukan dimana keadilan Tuhan itu. Ada yang kaya – ada yang miskin, ada yang jahat – ada yang baik, ada yang Cantik ada yang buruk rupa, ada yang sukses – ada yang tidak sukses dan seterusnya. “kok tidak adil sih?” Kalau manusia terus terjebak dalam pemikiran keberbedaan yang memang itu harus ada, maka akan timbul pertanyaan kenapa harus mati kalau bisa hidup terus, “mana keadilanMu?”. Tuhan Maha Adil itu tidak dipaksa tapi memang terbukti. Saya termasuk manusia yang sulit “dipaksa” kalau belum membuktikan.

Bukti Tuhan Maha Adil adalah terletak pada pemberian Rizki yang semua sudah dilimpahkan di dunia ini. Tergantung kemampuan atau kesabaran manusia untuk mengambilnya. Kalau manusia mau sederhana dalam berfikir tentang Keadilan Tuhan, pernahkah Tuhan membedakan segarnya udara, hangatnya matahari, segarnya air dan suburnya tanah di Dunia ini hanya dimiliki untuk manusia yang “Baik” saja? Kenyataannya Koruptor, Begal, Penzina dan yang lainnya tidak dikurangi untuk menghirup udaranya, untuk meminum air tanahnya, untuk berdiri di atas grafitasi Bumi, yang nyata-nyata memang ciptaanNya. Apakah manusia yang “Baik”, menerima udara/O2 lebih banyak dari mereka tadi? Tentu jawabannya “Tidak”. Kemudian kenapa harus jadi orang baik kalau menjadi orang jahat tetap diberikan keadilan dari Tuhan?

Manusia selalu punya pilihan karena punya akal. Manusia dituntut untuk menjadi orang baik supaya mampu untuk “pulang” padaNya. Apakah orang yang berniat untuk jahat, tentu dalam hati kecilnya berkata, “malu tidak ya, menghadapNya dalam kondisi yang serba tidak pantas? Manusia terkadang membatasi Rizki Tuhan dengan kata-kata “mungkin belum rejeki”, selalu saja “Nafsu” yang membatasi limpahan RizkiNya. Bahkan sering terdengar “mengambil rejeki yang Haram saja susah, apalagi yang Halal?” Kalau habis mengatakan hal tersebut, kemudian langsung dicabut nyawanya, pantaskah menghadapNya dalam kondisi yang tidak bersyukur? Rizki yang diberikan sebelumnya, yang mungkin sudah cukup banyak tapi lupa disyukuri, misalnya kesehatan, bisa bernafas, bisa punya anak, bisa berbisnis, bisa lulus sampai S3 dan lain-lain, terhapus oleh kata-kata terakhirnya. Na’udzubillahimindzalik! Mampunya manusia hanya mengukur dari hal yang bersifat positif atau negatif “saat ini”, sedangkan “future” tidak ada yang mampu melihat atau merabanya dan yang “lampau” belum disyukurinya. Semoga saya tidak pernah meng”kerdil”kan semua pemberianNya, karena Tuhan selalu Maha Adil.
Read More

posted under , | 0 Comments
Postingan Lama

Recent Comments