Lailatul Qadar untuk siapa?


Oleh : Haryo K. Buwono

Menjelang akhir ramadhan selalu banyak yang beri’tiqaf di masjid. Niatannya macam-macam, ada yang ingin berintrospeksi diri dalam perenungan batin, ada pula yang ingin mendapatkan lailatul qadr (malam istimewa dari 1000 bulan). Apakah Tuhan menurunkan lailatul qadr di Malam hari pada satu masa? Kalau malam hari di Indonesia bukan berarti malam di belahan bumi sisi yang lain. Jadi lail disini apakah masih identik dengan malam kalau diturunkan pada satu masa? Ataukah Lailatul Qadar ini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang “tertentu” dimana kekhusukkan beribadah dalam konteks perenungannya memang “ikhlas” untuk Tuhan semata, sehingga “surgaNya” terhembus pada “saat” itu. Ketika “SurgaNya” terhirup oleh yang penuh keikhlasan saat menjalani masa i’tiqaf, maka rasanya seperti 1000 bulan rizkiNya.

Banyak sekali pertanyaan yang sering dimunculkan akibat ada “Hadiah” berupa Lailatul qadar ini. Sinyalemen yang terdapat dalam Quran Surat Al Qadr ayat 3 “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”, maka munculah manusia menebak-nebak kapan datangnya Lailatul Qadar ini. Muhammad, rasul umat muslim tidak pernah menceritakan cara atau bagaimana dan bahkan rasa saat mendapatkan lailatul qadar ini. Tetapi secara jelas disampaikan juga dalam al quran bahwa “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. Kapan datangnya? Adalah pada malam-malam ganjil. Ganjil yang dalam istilah, berarti aneh atau ganjil yang dalam angka, berarti gasal. Kalau yang mengartikan gasal, berarti tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29 bulan ramadhan. Sedangkan yang menyebut aneh (karena didasari Tuhan “suka” yang ganjil karena Tuhan sendiri Ganjil) maka bisa kapan saja.

Kalau digambarkan oleh grafik naik turunnya keimanan manusia dengan garis tegas Nur Illahi, "pas" saling bersinggungan pada titik asymtot waktu tertentu dan manusia tidak bisa duga. Waktunyapun sangat singkat, namun sudah selayaknya nikmatnya anugerah 1000 bulan. Luar biasa! Pertemuan sekejap, kenikmatannya melampaui umur manusia! Tidak terbayang jika sesudah matinya manusia dan kembali dalam pelukan Illahi tak terbatas waktu lagi! Jadi merinding!!

Perumpamaan kejadian lailatul qadr cukup beragam. Ada yang menyebut ketemu dengan cahaya terang sekali, ada yang menyebut kedinginan, kehangatan, suasananya tenang, damai dan lain-lain. Tetapi apakah yang menerima “kenikmatan” itu, masih bisa bercerita, karena sulit menceritakan kembali “keistimewaannya”? Muhammad rosul terakhirpun mampu untuk bercerita. Karena tidak ditemukan dalam Hadistnya tentang penggambaran malam qadr ini. Berarti manusia diminta mencari sendiri malam itu, agar bisa menemukan sendiri pula "rasa cinta" itu. Dalam pencariannya, tentu tidak dengan “nafsu”, tetapi dengan rasa tulus ikhlas. Dan pastinya, tidak mau dibatasi oleh waktu, entah itu malam gasal ataupun genap. Karena, kalau mau mencari “Nur Illahi” kok milih-milih waktunya, bisakah ketemu “saat qadr”nya? Muhammad cinta Tuhan tidak pilih waktu, maka Tuhanpun mencintai Muhammad sepanjang jaman. Buktinya, Islam dan Muhammad sebagai penyebarnya, tetap terjaga hingga kini. Semoga suatu saat saya mampu menemukan qadr-nya, "bukan" didasari karena “hawa nafsu” bahkan arogansi saat mampu menemukan "NurNya".

Read More

posted under , | 1 Comments

Jika Ramadhan itu hanya Ilusi


oleh : Haryo K. Buwono

Sebuah bilangan matematika sebenarnya adalah abstrak, namun karena diyakini maka angka tersebut menjadi bisa ditambah, dikurang, dibagi atau dikali. Kita mempresentasikan angka-angka berupa “kebohongan” statistikpun bisa menjadi patokan akan arti kebenaran. Manchester United saja percaya akan statistik ini, walau belum dijalani pertandingannya. Arti kebenaran disini tentu bukan absolut. Kebenaran absolut atau 100% hanya milik Tuhan Pencipta Semesta Alam.

Manusia berusaha mendekati akan penciptaNya. Misalnya keadilan, manusia menciptakan Hukum manusia yang masih mungkin dijungkir balikkan oleh si manusia itu sendiri. Manusia juga menciptakan sebuah partikel awal terciptanya alam semesta ini, lewat CERN, sebuah mega proyek di Eropa, yang masih dikhawatirkan mampu menjadi BlackHole di Bumi karena energinya mendekati kecepatan cahaya.

Jika semua itu diciptakan dengan keyakinan, maka segala permasalahan bisa diolah dalam naungan cita-cita atau obsesi. Begitu juga dengan Ramadhan, dimana Tuhan menciptakan satu bulan yang dinyatakan penuh rahmat dan ampunan. Namun untuk apa Tuhan menciptakan bulan itu? Kenapa harus Ramadhan? Kenapa Bukan Dzulhijah atau bulan-bulan yang lain yang dijadikan ”istimewa” itu?

Kalau nama bulan itu ciptaan Tuhan lewat perantaraan nabi-nabi, kenapa puasa yang diwajibkan atas manusia sebagai mana orang-orang terdahulu (Quran surat Al Baqarah 183) , itu dijatuhkan di bulan ramadhan? Berarti bukan nama bulannya yang penuh berkah, namun esensi puasanya itulah yang membangkitkan sendi-sendi nur Illahi dalam diri. Kalau bulan Ramadhan, manusia tidak menjalankan puasa atau puasa tapi hanya menahan lapar dan haus saja, apakah bisa mendapatkan safaat dari Tuhan Yang Maha Kasih? Jawabannya, Tentu Tidak! Tanpa didasari keimanan dalam menjalankan puasa kapan saja atau apa saja, entah karena wajib atau sunnah, tidak mungkin mendapatkan ”Berkah”Nya walaupun dikatakan ”Bulan Ramadhan adalah Bulan Penuh Berkah”. Berkah ini tentu bagi yang ”menjalani” dan siap ”ditempa” untuk mengendalikan hawa nafsunya. ”Pemaksaan” dengan kata wajib pada bulan ”Ramadhan”, ternyata sangat efektif. Dimana masa Ramadhan rasa saling memberi/berkasih sayang untuk sedekah, sangat tinggi, dan untuk mengendalikan nafsu-nafsu pun menjadi otoritas utama. Pada nuansa itulah rasanya seperti membelenggu setan-setan. Jadi yang membelenggu setan itu bukan ramadhannya, melainkan diri kita sendiri.

Adanya bulan tempaan ini, diharapkan, agar manusia selalu meningkat dari tahun ke tahun hingga akhir hayatnya. Dan, Brain wash di bulan ramadhan ini, bisa meningkatkan kecintaan dengan Tuhan, lewat ayat-ayat yang nyata, maupun mengilhami dari yang tertulis. Artinya pasca Ramadhan atau berlebaran, bukan diartikan lebaran yang berarti selesai (lebar, bahasa jawa) dan diakhirinya semua kegiatan kebaikan-kebaikan yang selama ramadhan telah dijalani. Memang lebaran artinya selesai atau di ”wisuda” bisa sukses menjalani esensi puasanya, namun tidak kembali lagi saat sebelum menjalani berpuasa ramadhan. Bila kembali, berarti gagal. Gagal ini dinyatakan oleh hati nurani manusia itu sendiri, sehingga nilai kepantasan untuk ”meningkat” tidak mampu direalisasikan. Jika ramadhan bukan ilusi, berarti nyata adanya perubahan pada diri ini. Semoga saya terus termotifasi meningkatkan diri dengan adanya Ramadhan yang penuh hikmah ini.
Read More

posted under | 0 Comments

Puasa, Jujur dan Konsistenitas


Oleh: Haryo K. Buwono

Puasa hari ini telah dimulai (Sabtu, 22/08/09), dan pada puasa hari pertama ini banyak waktu saya berada dalam Kereta Eksekutif Taksaka tujuan Yogyakarta – Jakarta. Kebetulan kereta berhenti di stasiun Kutoajo, Purworejo, tempat saya tinggal. Memang hari ini cukup nyaman untuk berpuasa. Dalam perjalanan menuju Jakarta ini ternyata ada hikmah kejadian yang cukup menggelitik, yaitu saat sebelum berangkat, masih di stasiun Kutoarjo. Kebetulan, ada percakapan 4 orang disebelah saya. Uraiannya sebagai berikut: “Pak perjalanan ini boleh membatalkan puasa khan? Jawab yang lain “Bisa tapi kalau sudah naik kereta dan keretanya sudah jalan”, yang lainnya lagi, mungkin suami dari yang bertanya, “Iya betul, kita khan katagori musafir”. Dan yang cenderung pendiam, cuma senyum-senyum penuh makna.

Saya merasa ada yang ganjil saat mendengarkan percakapan itu, pertama mau membatalkan puasa yang “diniati”, kedua, “kalau sudah naik kereta” dan yang ketiga “katagori musafir”. Saya merasa pertanyaan dan pernyataan itu memiliki bobot yang beragam. Saya memikirkan pertanyaan pertama, meniatkan membatalkan puasa. Sebenarnya puasa itu untuk siapa sih? Bukankah tidak ada yang memaksa untuk puasa? Tetapi kesan yang muncul, ada yang memaksa. Puasa itu, bukannya untuk keteguhan diri dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, termasuk diantaranya mengendalikan nafsu ingin makan dan minum? Kalau dari awalnya tidak ingin puasa, kenapa harus puasa? Puasa itu bukankah untuk diri pribadi, kejujuran dan bukan untuk ritualitas, atau puasa karena ”bulannya”. Apakah puasa karena malu kalau tidak berpuasa di bulan Ramadhan?. Innama a’malubinniat.

Pernyataan orang kedua tentang ”kalau sudah naik kereta”, jadi lucu kedengarannya. Puasa batal karena naik kereta. Karena alasan berpergian jauh maka harus membatalkan puasanya. Kenapa tidak saat waktu mulai dari rumah saja membatalkannya? Mungkin jarak dari rumah ke stasiun tidak jauh, jadi tidak perlu dibatalkan. Kalau naik kereta, jarak tempuhnya melampaui jarak kriteria harus membatalkan. Tuhan tidak memberatkan bagi umatnya untuk berpuasa, artinya niatannya puasa, tapi jika pada suatu saat tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan puasanya, maka harus menyegerakan membatalkannya. Jarak yang dimaksud jaman Rosul dan jaman sekarang tentu sama, tetapi kendaraan yang digunakan, itu yang berbeda. Dahulu Onta atau Kuda sekarang Kereta, Mobil dan Pesawat Udara. Apakah ”harus” membatalkan puasanya jika jarak tempuh itu digunakan transportasi Pesawat Udara, dimana Jogja ke Jakarta hanya ditempuh waktu 45 menit? Betapa malunya! Waktu terbitnya sang fajar hingga terbenamnya matahari sejajar dengan 45 menit! Luar biasa! Atau kalau naik kereta yang tidak memerlukan energi, yaitu hanya duduk dan diberikan sejuknya AC, ”harus” memikirkan untuk membatalkan puasa?

Kenapa pernyataan terakhir yaitu sebagai musafir adalah ”pembenar nafsu” makan dan minum manusia? Kalau memang berat untuk puasa kenapa mencari-cari pembenar untuk membenarkan tindakannya, atau ekstrimnya ”mengelabuhi” Tuhan dengan nafsu manusia. Seharusnya, kalau puasanya tidak kuat maka segera membatalkannya, dan ketika tubuh ini sudah pulih untuk berpuasa, maka lanjutkanlah puasanya, walau tidak terhitung sebagai puasa yang utuh. Tetapi bukankah ini menjadi alat penempaan diri pada keteguhan pada pengendalian nafsu? Semoga saya diberikan kemampuan mengendalikan diri pada nafsu-nafsu duniawi yang menghambat ”kepulangan” saya menghadap sang khaliq.
Read More

Tuhan Itu Maha Adil, Ah Masak Sih?


Oleh: Haryo K. Buwono

Saya merasa terlalu sering mendengar pernyataan bahwa Tuhan Maha Adil. Dan makin diperkuat lagi dari salah satu iklan penyedia komunikasi CDMA di televisi. Dinyatakan bahwa “Tuhan Maha Adil, khan ada hadistnya”. Jadi Tuhan mau dinyatakan adil kalau sudah dibuat pernyataannya, bukan dibuktikan, dan didoktrinkan. Manusia pada akhirnya tidak mau mencari sesungguhnya adilnya Tuhan itu ada dimana. Padahal Tuhan menuntut manusia untuk menggunakan akalnya untuk berfikir. Al Quran, yang jadi panduan umat islampun hampir 99% menuntut manusia untuk berfikir.

Kalau melihat tatanan atau peran manusia di dunia ini, sulit untuk menemukan dimana keadilan Tuhan itu. Ada yang kaya – ada yang miskin, ada yang jahat – ada yang baik, ada yang Cantik ada yang buruk rupa, ada yang sukses – ada yang tidak sukses dan seterusnya. “kok tidak adil sih?” Kalau manusia terus terjebak dalam pemikiran keberbedaan yang memang itu harus ada, maka akan timbul pertanyaan kenapa harus mati kalau bisa hidup terus, “mana keadilanMu?”. Tuhan Maha Adil itu tidak dipaksa tapi memang terbukti. Saya termasuk manusia yang sulit “dipaksa” kalau belum membuktikan.

Bukti Tuhan Maha Adil adalah terletak pada pemberian Rizki yang semua sudah dilimpahkan di dunia ini. Tergantung kemampuan atau kesabaran manusia untuk mengambilnya. Kalau manusia mau sederhana dalam berfikir tentang Keadilan Tuhan, pernahkah Tuhan membedakan segarnya udara, hangatnya matahari, segarnya air dan suburnya tanah di Dunia ini hanya dimiliki untuk manusia yang “Baik” saja? Kenyataannya Koruptor, Begal, Penzina dan yang lainnya tidak dikurangi untuk menghirup udaranya, untuk meminum air tanahnya, untuk berdiri di atas grafitasi Bumi, yang nyata-nyata memang ciptaanNya. Apakah manusia yang “Baik”, menerima udara/O2 lebih banyak dari mereka tadi? Tentu jawabannya “Tidak”. Kemudian kenapa harus jadi orang baik kalau menjadi orang jahat tetap diberikan keadilan dari Tuhan?

Manusia selalu punya pilihan karena punya akal. Manusia dituntut untuk menjadi orang baik supaya mampu untuk “pulang” padaNya. Apakah orang yang berniat untuk jahat, tentu dalam hati kecilnya berkata, “malu tidak ya, menghadapNya dalam kondisi yang serba tidak pantas? Manusia terkadang membatasi Rizki Tuhan dengan kata-kata “mungkin belum rejeki”, selalu saja “Nafsu” yang membatasi limpahan RizkiNya. Bahkan sering terdengar “mengambil rejeki yang Haram saja susah, apalagi yang Halal?” Kalau habis mengatakan hal tersebut, kemudian langsung dicabut nyawanya, pantaskah menghadapNya dalam kondisi yang tidak bersyukur? Rizki yang diberikan sebelumnya, yang mungkin sudah cukup banyak tapi lupa disyukuri, misalnya kesehatan, bisa bernafas, bisa punya anak, bisa berbisnis, bisa lulus sampai S3 dan lain-lain, terhapus oleh kata-kata terakhirnya. Na’udzubillahimindzalik! Mampunya manusia hanya mengukur dari hal yang bersifat positif atau negatif “saat ini”, sedangkan “future” tidak ada yang mampu melihat atau merabanya dan yang “lampau” belum disyukurinya. Semoga saya tidak pernah meng”kerdil”kan semua pemberianNya, karena Tuhan selalu Maha Adil.
Read More

posted under , | 0 Comments

Kehidupan adalah Jalan


Oleh: Haryo K. Buwono

Kejadian 1 bulan yang lalu, bulan Juni 2009 jam 8 malam, tepatnya sewaktu saya menunggu isteri pada lokasi meeting point, Jakarta Design Center, Slipi. Saya merasakan, betapa hidup saya ini jauh lebih indah dari apa yang saat itu saya saksikan. Kejadiannya, seorang ibu dan anaknya dengan rasa kebingungan, berjalan mondar-mandir, didepan saya saat sendirian menunggu. Dan, karena kasihan, maka saya memberanikan untuk bertanya, ”mohon maaf sedang mencari siapa bu?”, Ibu yang berusia antara 30 sampai 40an itu segera menjawab, “Sedang mencari Bapaknya anak-anak, apa bapak melihatnya?, dia ini tukang ojek, pak”. Setelah bertanya jawab, akhirnya cukup meredakan kegalauannya, karena “beruntung” saya sempat melihat ciri-ciri “tukang ojek” yang diceritakan ibu tersebut. Dan, ibu itu berterimakasih, lalu beliau menjelaskan bahwa adik dari anak laki-laki yang berjalan bersamanya itu sedang sakit panas, yang kata Dokter harus dirawat di Rumah Sakit. Kata ibu itu lagi, bahwa suaminya sesungguhnya adalah Guru Ngaji di daerah Kemanggisan, namun untuk menambah kebutuhan keluarga, mencari tambahan dengan “mengojek”. Saya sempat menyodorkan sejumlah uang, namun ibu itu menolaknya, dengan alasan “takut tidak sempat membalas budi”. Luar biasa, alasan yang masuk akal, dan sangat jarang terjadi pada era sekarang ini. Ibu itu berlalu ke suatu tempat yang saya tunjuk, dengan meninggalkan saya yang kembali seorang diri. Dengan rasa haru, saya seraya bergumam, “Sungguh hebat keluarga ini!”

Lho, sengsara kok hebat? Bagi saya, “sengsara” itu, karena ada “ketidaksengsaraan”. Kalau kesehariannya keluarga ini bergelut dengan hal yang disebut “sengsara” bagi orang lain, apakah masih bisa disebut sengsara? Setiap manusia, hidup itu punya “jalan” masing-masing. Tidak ada yang mengatur semua manusia itu harus kaya. Tidak ada juga yang mengharuskan ada yang miskin, supaya ada yang disebut kaya. Tetapi memiliki “bahagia” saat menjalani hidupnya. Mungkin, kebahagiaan keluarga tadi, adalah memiliki anak yang berbakti dan baik bagi orangtuanya. Terbukti saat ibunya mencari suaminya, anak laki-laki yang baru berusia 6 tahunan, memberanikan diri mengantar ibunya dikegelapan malam.

Kehidupan ini adalah lompatan quantum yang tak terduga. Kadang yang Manusia sebut itu kesengsaraan, tetapi untuk esok harinya manusia sedikitpun tidak mengetahui, apakah masih sengsara atau bahagia. Manusia sering ”menuntut” untuk selalu berlaku: bahagia, kaya, sukses, menang, sehat dan yang ”plus-plus” yang lain. Kalau menerima yang tidak sesuai dengan ”Hawa Nafsu” manusia, langsung dengan sigap manusia menjustifikasi sebagai ”cobaan”, yang sebenarnya ungkapan dari asa dan rasa kecewa dengan Tuhan. Lho ini apa? Tuhan kok ”dikelabuhi” dengan seolah-olah menerima apa yang terjadi, tapi kata-kata yang muncul justru berupa kekecewaan, yaitu ”diberi cobaan”. Padahal Manusia ”jengkang-jengking” bersholat, berlapar-lapar puasa itu bukan untuk meminta yang ”plus-plus” tadi, dan ”pandai menilai Tuhan” pada setiap kejadiannya, melainkan menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Dari kejadian tersebut, semoga saya diberkan kemampuan menerima semua ”kejadian” dalam hidup ini, sebagai berkah kasih sayang Tuhan. ”Dengan Menerima Hidup sebagaimana Datangnya Hidup itu”. Kehidupan adalah Jalan menuju ”Innalillahi wa innailaihi rojjiun”. Amiin.
Read More

posted under , | 0 Comments

Ritualisasi bisa beda Implementasi


Oleh: Haryo K. Buwono


Saya selalu merasakan betapa gemuruh kebahagiaan menjelang puasa. Puasa bagi sebagian orang adalah ajang meningkatkan ibadah agar dapat meningkatkan nilai dihadapan Tuhan. Maka seiring dengan kegiatan tersebut, supaya amal dan pundi-pundi ibadahnya besar, tanpa hal yang bersifat negatif yang dikarenakan punya banyak salah dan dosa, sering terdengar kegiatan “ritual” saling memaafkan menjelang puasa di bulan Suci Ramadhan. Entah kenapa ini harus terjadi? Dan, mengapa masih meritualkan permohonan maaf?


Setiap insan tidak pernah lepas dari alpa dan salah pada insan yang lain ataupun makhluk yang lain. Kalau ditelusuri, permohonan maaf itu baru sebatas antar manusia, padahal kalau buang sampah sembarangan, mengambil air tanah berlebihan dan menggunakan listrik berlebihan, kok tidak minta maaf dengan alam? Padahal alam inipun ciptaanNya untuk melengkapi kebutuhan manusia. Tanpa alam, apakah manusia mampu menciptakan air, pohon, dan yang lainnya? Berarti kita meminta maaf dengan manusia dan alam, "tidak harus" menunggu menjelang bulan suci atau bulan baik lainnya. Manusia harus senantiasa rendah hati, membiasakan diri mohon maaf bila berlaku salah dan senantiasa melestarikan alam.


Dalam Al Quran tertulis: "Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa". (AN NISAA' ayat 149) dan ayat yang lain: "Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan" (ASY SYU'ARAA' ayat 183). Hal tersebut menunjukkan berbuat kebaikan itu tidak ada formalitasnya dan pada ayat keduapun dinyatakan manusia tidak boleh merugikan hak-hak alam untuk dinikmati kelestarian alam seisinya sesuai kesenangan, karena merusak alam berarti merenggut hak-hak makhluk yang lain.


Meritualkan maaf-memaafkan hanya pada bulan-bulan tertentu, ini juga bisa berdampak juga untuk meritualkan kegiatan pada bulan suci Ramadhan. Meritualkan kegiatan-kegiatannya, tanpa mendalami apa dibalik makna manusia harus berpuasa. Pada bulan Puasa, syaitan dan Jin dibelenggu, tapi mengapa masih saja ada kemaksiatan dan kejahatan? Lalu, Syaitan atau jin mana yang masih lepas? Berarti ”Hawa Nafsu” dalam tubuh inilah syaitan yang sesungguhnya. Manusia mudah untuk mengucapkan setiap kesalahan itu adalah hasil godaan syaitan, padahal itu lebih banyak dari sekadar mengumbar hawa nafsu. Disinilah sebenarnya makna berpuasa itu dimaknai. Mulai dari ”menemukan sejatinya diri” dengan berbanyak berdiam diri di masjid atau di rumah (dalam bertafakur), kemudian, ”mengendalikan hawa nafsu” dan memperbanyak sedekah untuk ”membersihkan diri dari rasa cinta dunia” bahkan melupakan cintanya pada Pencipta Alam Semesta. Semoga puasa kita sesuai dengan keinginan kita masing-masing. Selamat berpuasa.
Read More

posted under , | 0 Comments

Semua Itu Hanya TitipanNya

oleh : Haryo K. Buwono


Menyadur dari Puisi Rendra sebelum wafatnya dan Jujur saya cukup terkesima dengan setiap kata-katanya. Dan, berikut ini adalah petikannya:

Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
"mengapa Dia menitipkan padaku?"
"Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?"
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh- Nya ?
Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan
bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan
menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".
Read More

Saat Terakhir WS Rendra




Oleh: Haryo K. Buwono

Manusia sarat dengan Karya dan Prestasi, tapi itu bagi yang sadar, bahwa hidup ini singkat untuk berlaku yang “neko-neko”. Saya kenal WS Rendra karena saya senang dengan puisi. Puisi saya bukan tipikal atau mirip atau juga sejajar dengan beliau. Tetapi puisi inilah mencipta kehalusan budi dengan rangkaian kata-kata. Terkadang muncul kata-kata kasar, jorok atau minimalis, tetapi sebuah narasi puisi, adalah ungkapan terjujur yang dikreasi menjadi imajinatif.

WS Rendra bukanlah manusia yang baru kemarin mencipta puisi tentang kearifan Alam, Tuhan dan Manusia, saya katakan dia adalah sejatinya pencinta. Saya tidak menyinggung tentang kehidupannya, karena manusia memerankan perannya sebaik mungkin di Dunia ciptaan Allah. WS Rendra memerankan sebagai seorang seniman sehingga diapun terjuluki dan mashur dengan “Si Burung Merak”. Setiap manusia yang selalu dinanti bukanlah kesuksesan, bukanlah pengakuan dan bukan pula kemashuran, melainkan menjadi yang sesungguhnya mati karena kenal yang dicintai, yaitu Tuhan Semesta Alam.

Saya mencoba mengutip puisi terakhirnya, yang di”sekretaris” oleh Adi Kurdi tanggal 31 Juli 2009 di RS Mitra Keluarga saat WS terbaring sakit. Begini petikannya:

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga

Sungguh, ini mungkin sama yang dirasakan saya, isteri, adik dan adik ipar, bahwa ini mirip almarhum bapak saya. Gaya kerasnya kemudian terlihat lembut dimasa akhirnya. Harapannya bukan minta terus hidup, melaikan minta dijemput agar bisa lebih hangat dicintai Tuhannya ketika “kembali”. Tubuh ini adalah boundary, batasan yang mudah menjauhkan dari Dzatnya. Dengan terlepasnya Ruh dari Wadahnya, “sangat indah” rasanya, ruh ini terlepas dari hasrat-hasrat duniawi yang sangat semu. Contoh saja WS Rendra memilih jalur seni yang jauh dari standar cita-cita sewaktu masih kanak-kanak. Karena Seni bukanlah pilihan, seni itu menjauhkan dari kekayaan. Kaya itu semu, apa indikator kaya itu? Kalau yang belum punya mobil, selalu bilang kaya itu punya mobil banyak. Kalau yang belum punya anak, kaya itu memiliki anak-anak yang lucu-lucu. Kalau yang belum punya tempat tinggal, kaya itu punya rumah yang mewah dan besar. Tapi “kalau-kalau” yang tadi sudahlah terpenuhi, ada dan maujud, apakah manusia masih ingin kaya lagi? Jawabannya pasti “YA!”. Tubuh manusia inilah yang menggiring kepada hasrat atau nafsu yang semu. Nyatanya tidak ada kata “kaya” yang sesungguhnya.

Saya sangat tersentuh dan haru membaca dari koran harian, tentang kata-kata terakhirnya. Kata terakhir tersebut adalah “Saya sangat Bahagia!”, sebelum dihembusan nafas terakhirnya. Saya yakin puisi di atas adalah “surat cintanya” pada Sang Khalik dan terkabulkan. Kebahagiaan dari sakit tubuhnya, ternyata hanya untukNya. Kata WS: “Tuhan, Aku Cinta Kamu”, maka Innalillah wa inna ilaihi rojjiun. Nikmatilah kepulanganmu Rendra, saya pun ingin sepertimu.
Read More

posted under , | 0 Comments

Rejeki sudah dihamparkanNya, Kok masih rebutan?


Oleh : Haryo K. Buwono


Suasana kantor saya memang tak jauh beda dengan kantor yang lain, bahwa aktifitas selalu diikuti dengan intrik dan gesekan. Kejadian tersebut sangatlah lumrah mengingat manusia dilahirkan dari niatan yang berbeda-beda dari pasangan bapak dan ibu. Semua sesuai “nawaitu”, visi – misi, dan gregetnya waktu sedang berhubungan/bersetubuh. Orang tua sering menyalahkan anaknya yang bandel, nakal, pemalu dan lain-lain, padahal ada sebagian titipan nawaitu itu yang terdapat dianak ketika tumbuh.


Beberapa kejadian intrik di kantor biasanya adalah dimulai dari saling merasa benar, dan kalau sudah benar terus menginjak-nginjak “rasa/batin” orang lain. Saya yakin ini disebabkan karena adanya nafs ingin kuasa, ingin menjadi yang terhebat dan “Ter-ter” yang lain. Padahal sesungguhnya manusia hanyalah segumpal bangkai yang saling bersombong. “Bangkai saja sombong!”. Waktu terus berjalan layaknya umur yang terus menua, disaat itulah biasanya menjadi manusia yang rapuh dan serba terlambat. Kalau terbiasa dengan kesombongan maka sulit untuk mengucap kata “maaf” dan saat itulah Ruh merasa Tersiksa. Dalam surat Yunus : 108 menyatakan “…barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu”. Tersirat bahwa membaikkan orang lain akan membaikkan diri sendiri secara otomatis, begitu juga sebaliknya. Disinilah terlihat sifat Allah Yang Maha Adil itu. Tuhan sudah menurunkan semua SunnatullahNya, RejekiNya dan SiksaNya, terlihat pada “dan Aku bukanlah seorang penjaga terhadap Dirimu".


Biasanya berkait dengan rebutan rejeki ini, sering terjadi saat di Kantor. Saat Muda (energi full) sangat sulit mencari rejekiNya, dan ketika Tua sangat mudah menemukan hamparan rejekiNya namun tubuh sudah tidak mampu lagi merengkuhnya. Jadi karena tidak mengerti inilah biasanya gesekan di Kantor sering terjadi. Mendapatkan rejeki yang baik adalah mendapatkannya dengan cara yang baik, tidak menyakiti hati, dan tidak perlu dengan cara-cara kotor. Karena semakin baik rejeki yang diterima, biasanya semakin hebat rasa syukur padaNya. Rasa syukur yang berlebih inilah yang membimbing ruh mencapai surgaNya.

Read More

posted under , | 0 Comments

Banner created with MyBannerMaker.com
Read More

posted under | 0 Comments

Tanya - Jawab Tasawuf #1


Oleh: Haryo K. Buwono

Saya ingin mengungkapkan pertanyaan yang dilampirkan via inbox Facebook yang ini adalah dari teman yang bertanya dan saya mencoba menjawab sesuai batas kemampuan saya. Saya coba tuliskan karena pertanyaannya sangat elegan. Berikut petikan pertanyaan dan jawaban

Teman saya (inisial MY) bertanya:
”Mas, penjelasan tasawuf itu seperti apa menurut mas?”

Saya mencoba menjawab:
”Tasawuf itu ilmu sederhana bila dijalankan bukan diteorikan. ilmu tasawuf itu juga disebut ilmu laku/agama laku, saya sedang mempelajari dan mencoba dituangkan lewat tulisan2 akibat aplikasinya. Mungkin bisa dikunjungi di http://www.berpikir-merdeka.co.nr/ atau dalam konsep wayang di http://mikirjero.blog.com/. Selebihnya saya masih explore terus sampai matinya saya.”

MY dalam penasarannya menanya lagi:
”Senang sekali membaca tulisan teman lama yang sangat lama tidak bersua, tetapi ada emosi sehingga saya memaksa bertanya lebih lanjut, Apakah manusia itu punya kehendak? Kalau toh punya kehendak, itu duduknya dimana?Seperti tangan kita, kita angkat, sebenarnya siapa yang mengangkat? Korelasi antara pikiran dan terjadinya gerak tangan oleh sebab apa? Kalau karena pikiran saja, ulun mboya (saya tidak – red) yakin?”

Saya langsung seperti tersambar petir, karena pertanyaan seperti ini ada di data base otak, tetapi disisi sebelah mana. Kemudian dicoba untuk menjelaskan:
”Manusia hidup karena terdiri dari: Bangkai, Ruh dan Nafs. Bangkai adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak walau bangkai memiliki otak. Ruh adalah Dzat Allah yang menyebabkan bangkai itu hidup. Sejatinya Hidup itu karena Ruh. Tetapi kehidupan karena adanya Nafs (keinginan). Sejatinya yang menggerakkan tubuh adalah keinginan. Berawal dari krenteg (keinginan - red) inilah yang menggerakkan keinginan apapun, yang nantinya bisa berakibat buruk atau baik. Untuk kepentingan diri Pribadi maupun orang lain, sesungguhnya (tidak dapat dielak – red) Tuhan sudah memberikan semuanya. Berdasarkan olah diri (nafs) yang terkendali adalah yang mampu mengambil rejekiNya atas RidhoNya dan diakhiri atas rasa Syukur. Syukur inilah yang menyebabkan Ruh merasa berada dalam nyamannya surga.Semoga belum puas atas jawaban ini, karena dengan pertanyaan itu semakin dalam mengerti sejatinya Hidup.”

MY langsung menjawab: "kok bisa gatuk (cocok – red) dan jumbuh (sinergi – red) mengkaitkan hubungan-hubungannya. Sudah jadi pandhito, kang?"

Saya tidak bisa menjawab apapun, sebab kadang pujian itu melengahkan dan bisa-bisa setan menghampiri, dan takabur menjadi sisi tidak ikhlas karena kesombongan. Pada kesimpulannya, sejatinya cinta dengan Tuhan tidak mengharapkan Surga dan takut pada NerakaNya, tetapi lugu dan ikhlas ”menjalani Hidup ini sebagaimana datangnya Hidup itu”, karena saat menulis ini saya belum mati, dan kematian yang ikhlas ini yang sedang saya upayakan.
Read More

Menyalahkan atau Membenarkan?


Oleh: Haryo K. Buwono


Virus facebook sudah merebak dimana-mana, mulai dari warnet, kantor hingga fitur Blackberry. Kalau dilihat haram, mungkin iya, jika dilihat dari sisi negatifnya. Justru mungkin juga banyak dari sisi positifnya. Saya sangat tertarik ketika mengisi komentar-komentar pada situs pertemanan facebook tersebut. Saat itu ketika mengomentari beberapa catatan (note) yang berbau agama, menarik sekali, saya bisa banyak belajar dari beberapa komentar teman-teman yang lain.


Seandainya Muhammad, Isa dan Musa terlahir atau diturunkan pada masa sekarang, tentu komentar atau perbedaan menjadi sangat sedikit. Sangatlah kebetulan Muhammad dinyatakan sebagai nabi terakhir, atau yang menganut kristen, Isa yang terakhir, atau anutan yang lain, sehingga dalam menterjemahkan kitab suci sudah berbeda-beda sesuai kemampuan menyerap wahyu tersebut. Cukup banyak aliran dan paham yang berkembang pesat pada semua agama, sehingga banyak yang mengaku “inilah yang paling benar!”. Bahkan saling mengundang kebencian sesama pemeluk agama. Saya menjadi berpikir apakah agama itu untuk kelompok, ataukah untuk pribadi?


Saya teringat pada salah satu ayat dalam Al Quran, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu tuntunnmu/agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi tuntunan/agama bagimu.” (AL MAA-IDAH, ayat 3), yang berarti tuntunan hidup itu memang untuk “mu (tunggal/manusia pribadi)”. Saya tidak melihat yang lain, selain tuntunan itu untuk diri pribadi. Tetapi yang saya rasakan, seolah ini berubah menjadi kelompok-kelompok. Kemudian saya bertanya pada diri, Apakah ada ketakutan kalau “sendiri” dalam membuat putusan-putusan hidup? Ataukah ada kebanggaan lain yang dirasakan, jika berkelompok?


Ada komentar dalam berfacebook yang saling menjatuhkan sesama tuntunan, yang seolah kebenaran absolut ada pada pikirannya/kelompoknya. Saya sering menggunakan pertanyaan yang mungkin mengundang kebencian, “Apakah anda yang menyalahkan saya, yakin bisa bertemu dengan Penciptamu kelak, bila saat mati, anda masih memendam kebencian?" Saya pernah ingat cerita dari beberapa uztad dan kebetulan cerita itu sama, yang kurang lebih, “Seorang pelacur, ketika hendak mencari jalan kebenaran, yang sebelum matinya, sempat memberikan separuh makanan yang ada ditangannya untuk anjing yang sedang sekarat. Tuhan mengangkat derajat pelacur itu yang tertinggi, untuk dimasukkan dalam surga”. Cerita tersebut menggambarkan, pelacur yang dalam hidupnya, notabene penuh kekotoran, tetapi dimasukkan surga karena sempat mencari kebenaran, juga dalam dirinya tersimpan jiwa yang penuh cinta kasih. Cinta pada diri dan ciptaan Tuhan, terlihat dengan caranya berbagi makanan. Teman saya menanyakan pada saya, “Lha mas, kalau ‘ada’ Uztad atau pemimpin agama yang dalam hidupnya selalu mengajak untuk membenci sesama umat Tuhan, masuk surga nggak?” Tentu saya jawab “Tidak tahu! Itu Hak mutlak Tuhan!”. “Lalu mengapa harus merasa paling benar ya?” kata temanku lagi. Saya tidak menjawabnya, karena pertanyaan itu sudah mengandung makna dengan jawabannya.


Manusia adalah makhluk sosial, yang suka berkelompok dan bermassa. Semakin banyak massanya maka akan semakin kuat. Apakah ini juga termasuk dalam beragama, dimana disaat matinya adalah pulang sendiri-sendiri? Semoga menjelang mati, saya bisa mengerti akan pertanyaan ini. Karena kematian adalah yang terdekat bagi setiap manusia yang hidup, maka saya akan terus mencintai Tuhan dengan salah satunya mencintai ciptaanNya.

Read More

Renungan untuk Jacko


oleh: Haryo K. Buwono

Pagi ini saya bangun relatif terlalu pagi, dan susah untuk dipejamkan mata ini. Kemudian saya menonton salah satu stasiun televisi dan kebetulan sedang menyiarkan “memorium dari Michael Jackson”. Bintang Mega Pop sepanjang masa. Saya salah satu dari sekian juta penggemarnya. Saya ikuti dimulai dari solo kariernya di dunia musik, tapi saya tidak mengikuti saat dia bergabung dengan Jackson 5 diusia 5 tahun. Spektakuler kehidupannya, namun apakah dia bahagia di sisa akhir karier dan kehidupannya?

Beliau adalah Ikon musik Pop Dunia, semuapun mengakuinya. Dibalik itu semua saya melihat kerapuhan dalam dirinya. Masa kecil yang selalu dalam tekanan Ayahnya dan ketika dewasa ingin tetap menjadi Anak-anak. Neverland adalah simbol pernyataan terakhir. Masa kecilnya terenggut oleh ambisi ayahnya yang menginginkan menjadi penyanyi sukses, tetapi mengabaikan masa anak-anak (masa bermain). Jacko, begitulah panggilannya, sejak umur 5 tahun dipaksa ayahnya untuk memenuhi ambisinya. Kasihan.

Tapi ”Jacko Dewasa” mungkin harus berterima kasih pada ayahnya ketika ia menjadi "Superstar" yang kaya raya. Manusia itu selalu memiliki keinginan, kalau orang yang belum kaya pasti membayangkan kaya raya dan seolah surga ada disana. Tapi ketika sudah kaya, apalagi? Yah, mungkin persis seperti michael lakukan, yaitu ingin menjadi Tuhan. Dia menganggap bahwa dirinya tidak sempurna. Tuhan salah menciptanya dan segala skenario penciptaannya. Maka wajah, kulit dan kehidupannya, bahkan duniapun ikut dirubahnya, tanpa terkecuali. Padahal Tuhan telah mencipta manusia dengan sebaik-baiknya ciptaan. ”Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (AS SAJDAH (SUJUD) ayat 9).

Ketika sudah bisa merubah segalanya, maka karena dilandasi atas tujuan semu, dia kembali sepi, hopeless dan tiada jelas untuk apa dia hidup. Tuhan menciptakan selalu seimbang. Perhatikan, kulit hitam yang diubah Jacko menjadi putih, itu mungkin baik untuk performance, tapi apakah baik untuk kesehatannya? Tentu Tidak! Ketidakseimbangan Hormonpun terjadi. Hingga menjelang akhir hidupnya, dia tidak bisa lepas dari obat penghilang rasa sakit. Perubahan yang dia bentuk tidak setara dengan penciptaan Tuhan. Dan biasanya penyesalan itu datangnya belakangan. Tapi apakah ini memang skenario dari Tuhan? Seperti dalam firmanNya: ”Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. (SHAAD ayat 72). Apakah Roh Jacko bisa menolak ketika harus terlahir di rahim ibu Jacko dengan ayah yang demikian kerasnya? Semoga saya bisa mengambil hikmah dari meninggalnya Jacko. Selamat Jalan Jacko, semoga kamu bisa kembali pada pelukanNya.
Read More

Bohong untuk Kebaikan



Oleh : Haryo K. Buwono


Dalam menghadapi akreditasi di kampus saya, berbagai strategi telah dibangun, termasuk diantaranya membangun “sedikit” kebohongan. Akreditasi adalah ujung sebuah pengakuan yang (seharusnya) secara jujur dilakukan oleh perguruan tinggi dalam publikasi institusi untuk ukuran publik. Mungkin citra diri harus dibangun dari pondasi-pondasi yang sangat rapuh dan melenakan. Kejujuran menjadi sangat naif dicantumkan sebagai nilai yang sangat hakiki. Lalu kalau kebohongan yang dibentuk secara terus menerus ini menjadi landasan sebuah pengakuan apakah ini menjadi lazim?


Satu per satu tulisan dan data muncul dengan lancarnya diutarakan pada laporan akreditasi, tetapi rasa dalam hati ini, mungkin lebih tepat jiwa ini, berontak kesakitan. Mungkin yang rasa ini yang dimaksudkan pada Al Quran surat Al Baqarah ayat 10: “fii quluubihim maradhun fazaadahumu allaahu maradhan walahum 'adzaabun aliimun bimaa kaanuu yakdzibuuna” atau Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Kalau benar ini yang sudah ditunjukkan oleh Tuhan, pantas rasanya kebenaran itu sejati adanya.

Kalau saya membangun sesuatu, diawali dari sebuah kebohongan, saya yakin hasilnyapun tidak memuaskan. Saya bisa rasakan saat kuliah dahulu, bahwa saya pernah mengakali dosen dengan mencontek atau sejenisnya. Saat itu mungkin tidak dirasakan efek pencontekannya, dan benar ketika saya mendapatkan nilai A, saya sangat bahagia. Tapi dibalik kebahagiaan itu ternyata baru ditunjukan penyesalannya saat mulai bekerja. Dimana saat saya diminta untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang berkait mata kuliah yang mendapat nilai A tersebut, ternyata nol besar. Tuhan mungkin terlihat adil disini, kegembiraan di atas kebohongan sebenarnya hanyalah penyesalan yang tertunda. Sungguh, Neraka yang saya rasakan, saat ternyata ketidakmampuan diri ini, menjadi titik balik dari sebuah rasa malu. Ingin rasanya membangun citra diri dari sebuah kejujuran, dan ternyata jujur itu melegakan. Menjawab apa adanya (sederhana) dan bukan adanya apa (pangkal kebohongan), itu butuh proses. Apa adanya itu jujur, sedang adanya apa berarti mencari-cari mana yang butuh ditambal. Penasehatan berupa bohong untuk kebaikan, itu tidak masalah dan masih baik. Tapi kenapa yang sakit itu tetap di hati? Berarti kebaikanpun bisa menyakitkan. Lalu dimanakah batas-batas baik menurut hati?

Read More

Manusia hendaknya menunggu dimatikan atau meminta untuk diwafatkan?


Oleh Haryo K. Buwono

Saya hari ini mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman kuliah saat S1 dulu melalui jejaring internet. Sering terbesit dalam benak saya bahwa ulang tahun itu sebenarnya mengucapkan panjang umurnya ataukah semakin berkurangnya umur? Kalau saya mengucapkan panjang umurnya, tentu sangat melengahkan pada yang diberikan ucapan tersebut. Tetapi jikalau sebaliknya, tentu tidak menggembirakan. Lalu bagaimana mengucapkan selamat ulang tahun pada teman yang seusia, diatas umur saya atau pada anak kecil?

Karena ini teman saya, maka saya kemudian memberikan ucapan yang setengah-setengah. Ucapannya yaitu ”Tuhan masih sayang dan percaya padamu, bahwa umur panjangmu ini adalah untuk mampu memperbaiki dirimu dan lingkunganmu, agar saat matimu, kamu mampu ”kembali” dengan meminta untuk diwafatkan”. Saya memang sedikit terilhami dari Quran surat Al A’raaf ayat 126: ”wamaa tanqimu minnaa illaa an aamannaa bi-aayaati rabbinaa lammaa jaa-atnaa rabbanaa afrigh 'alaynaa shabran watawaffanaa muslimiina” yang diindonesiakan menjadi ”Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami". (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)".

Ulang tahun bagi usia anak-anak adalah hari yang ditunggu-tunggu karena akan mendapatkan hadiah yang berlimpah dari teman dan orang tua. Tetapi sangat berbeda ketika mensikapi ulang tahun di usia yang sudah mulai menginjak dewasa atau pendewasaan diri. Banyak sekali yang terlihat usianya sudah banyak dari jumlah angkanya, namun sikap dan pola pikirnyanya tidak mencerminkannya. Kadang saya terilhami dari sebuah kotak infaq masjid yang terus berjalan dan berhenti ketika sedang diisi, dan berjalan lagi dengan bertambahnya berat dan isi. Maksudnya bahwa manusia harus terus menatap bagaimana cara “pulang”nya, dengan sesekali berhenti untuk diisi dengan bertafakur, berdiam diri atau sejenisnya, hanya untuk sekadar merenungkan diri. Sholat saya hanya menjadi rutinitas, kadang tidak cukup untuk menghentikan bola liar yang ada dalam benak saya. Bola liar itu bisa pikiran yang sangat impresif menekan pada keperluan luar tubuh atau sisi badan wadag/tubuh. Jiwa saya terkadang tidak tersentuh. Saya bahkan sering mengasihani diri saya sendiri, bahwa ternyata perintah sholat itu hanya untuk “jengkang-jengking” saja. Dan, belum pada esensi sholat itu sendiri sesuai perintah Tuhan. Maka saya merasa perlu untuk menyelipkan sedikit waktu untuk berdiam diri, untuk sekedar diam saja atau berbicara dengan diri sendiri. Saya pernah dikatakan sebagai yang tidak islami. Menurut saya, pendewasaan perlu hantaman kritikan, bukan sekedar aman. Rasa aman malah biasanya melengahkan. Tapi jiwa yang tentram itu, (mungkin) yang mampu/siap untuk diwafatkan. Semoga saya bisa terilhami/tersadarkan setiap mengucapkan selamat ulang tahun pada siapa saja. Amin.

Read More

Berjiwa Besar atau Berpikir Jernih?


Oleh: Haryo K. Buwono


Saya suka sekali bergabung dan berinteraksi dengan berbagai millis. Fungsi dari ini adalah ingin mendewasakan diri dari perbedaan pengetahuan yang sering muncul saat bermillist. Keasikan atau rasa bahagia bisa muncul saat memiliki satu kesatuan mufakat. Namun bila hasilnya bertentangan dan tidak sinkron, maka kejengkelan atau kegundahan hati pun terjadi. Mungkin ini yang disebut hawa dari surga dan neraka. Mengkompromikan sesuatu yang tidak sepaham tentu menyebabkan kemasygulan dan ketidaknyamanan. Tapi apakah setiap manusia harus dibuat prototype yang sama sehingga segala sesuatunya bisa serba sepakat?


Seperti dalam surat Huud ayat 118 dalam Al Quran dinyatakan: ”walaw syaa-a rabbuka laja'ala alnnaasa ummatan waahidatan walaa yazaaluuna mukhtalifiina.”, yang dalam bahasa indonesianya sebagai berikut: ”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. Jadi memang dari awal penciptaan manusia tidak dibuat sama (homogen/tipikal). Manusia diciptakan dengan masing-masing berbeda otak, pemikiran dan emosionalnya. Kalau saya mampu mengendalikan ilmu pengetahuan, yang semakin lama semakin cepat keluar masuk otak, tentu saya akan mudah beradaptasi dengan pemikiran orang lain.


Saya sering menemui keganjilan dalam pendapat orang lain, tapi kalau saya berpendapat, mungkin juga dianggap ganjil oleh orang yang lain lagi. Maka jika saya merasa benar sendiri berarti saya semakin jauh dari kebenaran itu. Menciptakan komunikasi verbal maupun tulisan sering dan banyak disalahartikan sehingga muncul pro dan kontra. Isi dari Al Quran saja sering menimbulkan hal yang demikian itu. Contoh dalam Quran tersirat seolah seperti ”reinkarnasi”: ”Bumimu akan Aku gantikan dengan bumi yang lain”, pendapat yang lain menentangnya dengan memberi arti bahwa surat itu tentang bumi dan akhirat. Tapi pernahkah ada yang mencoba menyatukan? Justru yang muncul adalah perselisihan. Tapi kalau ilmu itu diendapkan pada diri masing-masing, yang artinya saling membawa bukan pendapat sendiri, pasti bisa muncul kebenaran itu. Artinya tetap pada kebenaran pikiran sendiri. Kebenaran hanya milik Tuhan, manusia hanya bisa mendekatinya saja. Semoga saya tergolong manusia yang mampu memilah-memilih dan mengolah segala macam informasi dan tidak cepat emosional ketika ada perbedaan pendapat.

Read More

Kaki Bergerak Disuruh Siapa?


Oleh : Haryo K. Buwono


Saya sering berpikir dan bahkan berdiskusi tentang hal-hal yang remeh tapi menjadi buah pikiran. Diawali dari pertemuan dengan orang yang cacat, tapi dia memiliki kegigihan dalam menjalani hidup. Kehidupannya tidaklah mewah, tapi juga tidak sengsara. Dia bahkan tidak ingin dikasihani dan tidak minta untuk dimengerti. Saya bahkan melihatnya sebagai manusia paling sempurna walau tidak memiliki bagian yang lengkap dari tubuhnya, sebab dia tanpa 2 buah kakinya. Pekerjaan sehari-harinya adalah tukang jahit. Dia memiliki 1 orang isteri dan 1 orang anak. Saya menanyakan tentang ”pernahkah merasa tidak adil pada Tuhan karena terlahir dengan kondisi seperti ini?”. Dia menjawab dengan santainya ”Tuhan memberikan saya isteri yang baik dan anak yang siap mendoakanku saat aku mati sudah lebih dari istimewa.”


Saya kemudian teringat pada surat Al A’raaf ayat 189, huwa alladzii khalaqakum min nafsin waahidatin waja'ala minhaa zawjahaa liyaskuna ilayhaa falammaa taghasysyaahaa hamalat hamlan khafiifan famarrat bihi falammaa atsqalat da'awaa allaaha rabbahumaa la-in aataytanaa shaalihan lanakuunanna mina alsysyaakiriina. Yang diindonesiakan kurang lebih, ”Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".”. Jawaban orang cacat tadi sangat tergambar jelas dari ayat ini. Sangatlah pantas bila ia merasa tidak perlu dikasihani. Kemudian saya bertanya dalam hati ”kalau tanpa kaki saja bersyukurnya seperti itu, apalagi saya yang secara fisik sangat lengkap?”


Kaki ini digerakkan karena kehendak. Entah kehendak yang bersifat baik atau buruk, namun sebagian ilmuan mengatakan bahwa kaki bergerak karena digerakkan oleh otak. Apakah demikian halnya? Kalau manusia mati tentu masih punya otak, tapi kenapa tidak bisa gerak? Ilmuan itu tentu akan bilang ”kan sudah mati, mana bisa gerak?”. Berarti yang menggerakkan itu bukan otak. Kalau ada nyawa/ruh baru bisa menggerakan. Apa iya? Apakah bayi baru lahir, mampu mengontrol gerakannya? Lalu siapa yang mengontrol kaki ini pada kemauan bergeraknya? Tentunya adalah wujud keinginan, atau nafsu. Nafsu inilah yang menggerakkan kemana saja keinginan maukan. Kalau saya tidak segera sadar bahwa orang cacat, yang dikurangi kelengkapan tubuhnya, berarti secara tidak langsung dikurangi dari nafs-nya. Orang cacat kakinya tadi (sudah dikurangi keinginannya) masih bersyukur, kenapa saya tidak melampauinya, karena kelebihan tubuh saya? Apakah saya juga masih ingin dimengerti oleh orang lain? Semoga saya tergolong orang yang mensyukuri nikmatnya dari lengkapnya tubuh ini, sehingga mampu memanfaatkan tubuh ini untuk kebaikan dunia.

Read More

posted under , , | 0 Comments

Sakit Sebuah Karunia


By. Haryo K. Buwono


Seminggu yang lalu saya menderita sakit perut yang luar biasa. Dalam satu hari bisa mengunjungi dan duduk bersama dengan Water Closed, kurang lebih 6 kali per hari selama 6 hari. Badan saya memang tidak menjadi kurus karena itu, tapi alhamdulillah masih bisa kerja, walau tidak konsentrasi. Pola makan saya sebelum sakit, mungkin tidak terkontrol dalam hal mengunyah makanan yang memiliki golongan pedas. Tapi kalau kondisi sehat apapun menjadi oke, padahal saya sudah 4 kali memperoleh stempel dari dokter, typus. Kenapa dokter selalu memberi nama sebuah penyakit, dan disampaikan pada pasiennya, padahal yang saya butuhkan adalah bagaimana mencapai kesembuhan, bukan namanya.


Kalau dikutip dari ayat 80 dalam surat Asy Syu’araa’, Al Quran, menyatakan ”wa-idzaa maridhtu fahuwa yasyfiini”, yang disusun dalam bahasa indonesia ”Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku”. Tuhan menyembuhkan langsung? Tentu tidak! Tentu lewat input dan proses. Tidak mungkin berdoa saja Tuhan akan mengabulkan, saya yakin Tuhan minta ”action” saya dalam proses penyembuhannya. Bisa melalui datang ke dokter, beli obat atau yang paling mudah, beristirahat. Saya termasuk manusia yang yakin bahwa sakit atau sembuh itu bagai buah proses.


Allah kadang memberikan rejeki lewat sakit atau sehat, tapi bagi yang sulit bersyukur itu berarti Harga Mati (yang bisa diartikan ”sakitnya setengah mati”). Bukankah setengah mati sama dengan setengah hidup? Kenapa tidak berpikir positif, sehingga pernyataannya ”Ya Allah, sakitnya setengah hidup!”. Berpikir positif menyebabkan hasil positif. Sakit terjadi karena kekurangwaspadaan terhadap tubuh (badan wadag). Tuhan pun sering mengingatkan bahwa saya masih memiliki tubuh, dengan cara, sakit yang datang. Timbulnya sakit itupun sebenarnya, kalau tidak mau menyalahkan siapapun termasuk Tuhan, adalah datang dari diri ”Pribadi”.


Saya sampai saat ini sangat meyakini, bahwa Tuhan sudah memberikan ”semuanya” pada manusia (Tuhan tidak pelit), tapi kadang manusia terlalu pandai untuk menilai pemberianNya. Kata rejeki atau anugerah sering dihadapkan dengan kata cobaan. Kalau lagi sakit, tidak punya uang, dan tertimpa musibah, selalu dikatakan ”sedang diberi cobaan”. Tapi kalau sedang diberi sehat, tidak bilang apa-apa atau lupa bersyukur. Sedangkan kalau lagi ditanya karena uangnya berlimpah, barulah mengucapkan ”Saya sedang diberi rejeki”. Kata-kata ”sedang” adalah ungkapan yang tidak bersyukur. Sehari-harinya ketika dia mencari nafkah dengan bernafas, tidak terhitung sebagai rejeki. Manusia memang tempatnya lupa, tapi ini mungkin pembenar untuk boleh melupakan RejekiNya. Semoga saya bukan tergolong orang-orang sulit bersyukur.

Read More

posted under , , | 0 Comments

Tetangga Meninggal Bukan Hari Selasa


By: Haryo K. Buwono


Hari ini tetangga saya meninggal tepat pada hari Rabu, yang jikalau hari dihitung berdasar Kalender Jawa. Secara Kalender Masehi, tetangga saya itu meninggal hari Selasa jam 20.00 wib (atau jam 8 malam). Prinsip Kalender Jawa adalah perubahan hari dihitung mulai Ashar (sore hari). Hari ini pula, saya hanya bisa mengucap “innalillahi wa inna ilaihi rojjiun”, karena saya tidak sempat menyolatkannya (dengan alasan saya harus buru-buru ke kantor dengan kesibukan sehari-hari) dan hanya bisa memberikan salam bela sungkawa pada keluarga yang ditinggalkannya. Selama saya duduk di halaman depan rumah tetangga saya itu sambil berbasa-basi, terdengar beberapa percakapan yang bagi saya menarik. “Wah untung meninggalnya hari Rabu”, yang lainnya menimpali “Iya, coba kalau hari selasa, bisa nggeret (Indonesianya: mengajak).”


Kematian adalah hal yang sangat-sangat wajar bagi manusia yang hidup karena ada rohnya. “Tsumma sawwaahu wanafakha fiihi min ruuhihi waja'ala lakumu..” (QS:32:9) yang diindonesiakan kurang lebih “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya”. Ketika roh sudah ditiupkan kedalam jasad manusia (sesungguhnya bila tanpa roh tentu hanya seonggok bangkai), maka roh itu bergabung dengan “bangkai”, lalu timbullah nafs (keinginan). Sejak itulah manusia memiliki 3 bagian yaitu Nafs – Roh – dan Bangkai. “Keinginan” inilah yang mengakibatkan Manusia untuk terus ingin hidup dan seandainya mati adalah bentuk kesialan. Nafs ini juga yang menakut-nakuti perihal pasca kematian dan selalu menginginkan surga. Kecintaan pada dunia ini jugalah yang menyebabkan manusia lupa pada tujuan hidupnya, yaitu hidup berkualitas untuk bekal matinya. Karena ada Hidup dan ada Mati, maka manusia sering membedakan ibadahnya. “Bekerjalah yang maksimal seolah hidup selamanya dan Beribadahlah yang khusuk seolah mati esok hari”. Jadi bekerja bukan merupakan ibadah?


Lalu, kenapa manusia masih takut kalau digeret sama yang mati, padahal roh sendiri ingin sekali pulang pada penciptanya. Seandainya “digeret”, bukankah itu kebahagiaan bagi Roh? Apakah kalau mati hari rabu, juga tidak ada yang mati (digeret) di hari itu? Kenapa orang takut sekali dengan Selasa dan Sabtu? Demikian sehingga tidak diganti saja nama hari-hari itu, dan tidak ada lagi yang perlu ditakuti. Ataukah ini mungkin salah satu bentuk ketidakikhlasan menjalani hidup, atau mau senangnya tapi tidak mau susahnya. Mau “Tetek”nya tapi tidak mau “Bengek”nya. Padahal kata-kata senang itu pasti muncul pasca bersusah-susah. Semoga kematian tetangga saya menjadi hikmah yang sangat hakiki bagi saya. Dan semoga Roh tetangga saya bisa pulang kehadiratNya, serta keluarga yang ditinggalkan dapat melanjutkan cita-cita dari yang meninggal. Amin.

Read More

posted under | 0 Comments

Selamat saat Mati

By: Haryo K. Buwono

Ini buah pikiran karena terlalu seringnya saya berpikir yang nyleneh, atau aneh. Saya tunjukkan dari ketika membaca sebuah berita tentang bencana. Berita tersebut menjelaskan bahwa bencana menyebabkan banyak korban jiwa, baik meninggal maupun luka-luka. Disitu pula selalu mengungkapkan jumlah nominal jiwa yang selamat dan yang mati. Saya terus berpikir berarti ada perbedaan antara mati dan selamat. Mungkin ini juga yang sering saya lakukan pada saat berangkat dari rumah ke suatu tempat, dimana saya selalu berdoa agar diberikan keselamatan hingga tempat tujuan. Lalu apabila saya tertimpa musibah terus meninggal, apakah masih bisa disebut selamat?

Setahu saya bahwa doa Robbanaa 'aatina fiddun-yaa Khasanah wa Fil akhiroti khasanah wa kinnaa 'azaabannaar, itu doa keselamatan dunia dan akhirat. Jadi selamat itu sangat berpengaruh juga pada akhirat. Bagaimana mungkin berurusan dengan akhirat bila tidak melalui kematian? Mungkin karena Kematian adalah hal yang mengerikan bagi sebagian orang sehingga mati “wajib” terlepas dari keselamatan. Atau mungkin perlu secara khusus dijabarkan tentang selamat yang dimaksud oleh berita itu, hingga matipun bisa menjadi katagori selamat.

Kematian adalah tujuan bagi orang yang hidup. Sesungguhnya Kematianpun tujuan bagi kehidupan yang berikutnya sehingga doa tersebut diatas menjadi jelas maknanya. Saya mencoba mensikapi pernyataan berita dan doa tadi dengan hati-hati. Kalau Beritanya diganti narasinya menjadi “jumlah JIWA yang selamat didunia adalah sekian JIWA dan selamat diakhirat adalah sekian JIWA, tentu tidak ada yang sedih disana. Kalau ingin menjelaskan yang tidak selamat adalah RAGAnya, semestinya berita tadi menyebut hal itu. Tapi karena yang disebut adalah JIWAnya bukan RAGAnya tentunya lebih menggembirakan.

Tapi sudahlah, karena beda itu anugerah. Kalau memaksakan, tentu menyedihkan bagi orang yang dipaksakan. Allah jugalah yang membuat perbedaan dari awalnya. Ada Setan-ada Malaikat, ada Surga-ada Neraka, ada Laki-laki-ada perempuan dan masih banyak lagi. Karena sudah ada juga perbedaan dari awal penciptaan saya, dari sebelum ditiupkan ruh hingga terlahir didunia, maka saya sendiri lupa, menangisnya itu karena apa? Setiap bayi terlahir mesti menangis tapi mungkin saat ini saya belum mampu menjawabnya.
Read More

posted under | 0 Comments

Kun Faya Kun


By Haryo K. Buwono

Saya saat berangkat kantor tadi, sempat berada dibelakang angkot jurusan pondok kopi – kranji. Saya cukup tertarik dengan kata-kata di kaca belakang mobil tersebut. Menggelitik tapi menjadi buah renungan. ”Alon-alon waton kelakon”. Sebuah prinsip orang jawa dalam mengungkapkan beberapa kegiatan. Kegiatan apapun ketika sukses maupun gagal oleh orang tua atau sesepuh selalu mengungkapkan kalimat tersebut.

Alon-alon arti harafiahnya pelan-pelan, Waton memiliki arti asal, dan kelakon artinya tercapai. Kalau digabungkan ”pelan-pelan asal tercapai”. Apakah itu maksudnya? Tentu maksud dari kata-kata itu mengarah pada input – proses – output. Kalau inputnya pelan-pelan kemudian prosesnya asal-asalan apakah yakin bisa tercapai sebagai outputnya? Kalau memaksa kata ”Ya” tentu akan dikatakan ”Bisa tercapai”, tapi apakah ada keyakinan akan hasil baiknya?

Mungkin saya coba memaknai katanya dengan mengotak-katik katanya. Kalau ”Alon-alon” diartikan Hati-hati, kemudian ”Waton” saya ganti dengan kata ”Maton” (artinya: dengan keyakinan) dan Kelakon tidak saya rubah kata maupun maknanya, rasanya menjadi lebih baik dan meyakinkan. ”Alon-alon maton kelakon” menjadi buah arti yaitu Hati-hati dengan penuh keyakinan maka akan tercapai tujuannya. Awal melakukan sesuatu harus hati-hati, tidak sembrono, penuh pemikiran dan cerdas. Kata petuah orang tua saya, Berani untuk Hati-hati. Kemudian, jika prosesnya dengan penuh keyakinan, maka yakinlah bahwa hasil pasti tercapai dengan memuaskan.

Saya pun kemudian merenung bahwa Tuhanpun mengajari kita berbuat hal demikian. Kenapa Tuhan menyebut ”Kun Faya Kun” untuk menciptakan apa saja di alam ini termasuk manusia? Padahal Tuhan mampu walau tanpa sepatah katapun untuk mencipta, karena Tuhan adalah Maha Kuasa. Tapi Tuhan seolah membimbing manusia, bahwa urutannya selalu diawali berkehendak (input) mencipta, contoh makhluk, kemudian mengucap (proses) ”Kun Faya Kun” hasilnya (output) Manusia.

Manusia adalah sebaik-baik ciptaan, yang paling sempurna, hingga Iblis dan Malaikatpun diminta sujud padanya. Tapi apakah saya sudah sesempurna itu hingga Malaikat bisa sujud padaku? Masih mau sujudkah Malaikat padaku, kalau dalam kehidupan masih senang dengan hal-hal yang ”shortcut”? Saya berkecimpung didunia pendidikan tapi simbol pendidikanpun di ”shortcut”. ”Tut wuri Handayani” yang dipasang sebagai logo, dimana kata itu adalah membentuk opini sebagai outputnya. Saya jadi jengkel, berarti Pendidikan di Indonesia ini yang penting Outputnya, tidak peduli input dan prosesnya. Maka saya tidak berani menyalahkan, jika pendidikan di Indonesia menjadi amburadul. Ya mungkin karena butuh cuma outputnya saja. Semoga saya masih diberikan ”kewarasan” dalam menempuh dan menjalani hidup ini, hingga saya masih bisa kembali fitrah sebagai Manusia. Manusia yang disujud Malaikat. Amiin.
Read More

posted under | 0 Comments

Sholat dan Surga


By: Haryo K. Buwono


Saya senang merenung, introspeksi dan kadang keluar nalar dalam menganalisa setiap kejadian. Termasuk diantaranya adalah Rukun Islam yang ke 2 yaitu Sholat. Saya mungkin sholat, kalau dari mulai umur 5 tahun hingga sekarang, tentu sudah susah menghitungnya, tapi sering terbesit dibenak saya, “untuk apa ini?”. Pernah saya menanyakan pada salah satu guru ngaji saya (guru ngaji saya ada 4, bukan 4 orang sekaligus tapi berganti selama 4 kali-red) tentang maksud sholat itu dilaksanakan dalam hidup manusia islam. Jawaban beliau sangat mengerikan bagi saya waktu itu yaitu kalau tidak melaksanakan sholat maka kamu akan dimasukkan ke Nereka Jahanam. Tapi saat ini dan selalu jadi pertanyaan adalah “Apakah kalau sholat untuk tujuan Surga?”.


Dalam perjalanan tentu disetiap kejadian atau pengalaman hidup seseorang tentu tidak sama. Saya sering terperangkap oleh pertanyaan dan jawaban yang memberi kesan doktrinasi seperti tersebut sebelumnya. Pertanyaan selalu sama “untuk Surga saja?”. Saya makin lama makin berontak, apakah ini benar? Sebab kebenaran selalu datangnya dari Allah melalui pengalaman dan eksistensi untuk tetap mencari Tuhannya dan keinginan mencintainya. Kalau seandainya untuk surga saja, lalu posisi Tuhan ada di nomer berapa? Kalau kita diperintahkan untuk sholat, hanya menjalankan saja tanpa berusaha mencari tahu untuk apanya, tentu manjadi aneh. Kapan kita bisa ketemu Allah, padahal Allah sendiri mengajarkan membaca Innalillahi wa inna illaihi rojjiun, Manusia akan kembali pada Nya.


Umur saya tentu terus bertambah, dan waktu terus menggerogoti tubuh ini untuk terus berkurang dari sisi manapun. Saya tidak mau terus sholat dalam kondisi tidak sadar akan maknanya. Saya kadang geregetan pada orang-orang yang senang menilai orang hanya dari ”kegiatan” sholatnya saja. Seperti contoh ”orang itu korupsi padahal sholatnya baik.”. Mana mungkin sholatnya baik kalau masih korupsi. Saya bahkan merasa kasihan sama makhluk Tuhan yang diberi tugas mengganggu Manusia, dan sampai saat ini Setan masih ”taat” menjalaninya, menjadi ”kambing hitam” kesalahan manusia. Seperti kata-kata ”Saya khilaf karena setan sempat merasukiku untuk berbuat itu”. Manusia itu mungkin simbol kerapuhan pada cinta, taat dan keteguhan.


Keinginan untuk ”mendirikan” sholat bukan ”mengerjakan” sudah sangat lama berusaha saya lakukan tapi memang semua butuh pembelajaran. Sulit atau mudah itu bukan apa-apa, yang penting berusaha maksimal dalam menjalaninya. Saya tidak mau kebahagiaan Surga dan kegelisahan pada Neraka menjadi Tabir penghalang kembali pada Nya. Semoga.

Read More

posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda