Kun Faya Kun


By Haryo K. Buwono

Saya saat berangkat kantor tadi, sempat berada dibelakang angkot jurusan pondok kopi – kranji. Saya cukup tertarik dengan kata-kata di kaca belakang mobil tersebut. Menggelitik tapi menjadi buah renungan. ”Alon-alon waton kelakon”. Sebuah prinsip orang jawa dalam mengungkapkan beberapa kegiatan. Kegiatan apapun ketika sukses maupun gagal oleh orang tua atau sesepuh selalu mengungkapkan kalimat tersebut.

Alon-alon arti harafiahnya pelan-pelan, Waton memiliki arti asal, dan kelakon artinya tercapai. Kalau digabungkan ”pelan-pelan asal tercapai”. Apakah itu maksudnya? Tentu maksud dari kata-kata itu mengarah pada input – proses – output. Kalau inputnya pelan-pelan kemudian prosesnya asal-asalan apakah yakin bisa tercapai sebagai outputnya? Kalau memaksa kata ”Ya” tentu akan dikatakan ”Bisa tercapai”, tapi apakah ada keyakinan akan hasil baiknya?

Mungkin saya coba memaknai katanya dengan mengotak-katik katanya. Kalau ”Alon-alon” diartikan Hati-hati, kemudian ”Waton” saya ganti dengan kata ”Maton” (artinya: dengan keyakinan) dan Kelakon tidak saya rubah kata maupun maknanya, rasanya menjadi lebih baik dan meyakinkan. ”Alon-alon maton kelakon” menjadi buah arti yaitu Hati-hati dengan penuh keyakinan maka akan tercapai tujuannya. Awal melakukan sesuatu harus hati-hati, tidak sembrono, penuh pemikiran dan cerdas. Kata petuah orang tua saya, Berani untuk Hati-hati. Kemudian, jika prosesnya dengan penuh keyakinan, maka yakinlah bahwa hasil pasti tercapai dengan memuaskan.

Saya pun kemudian merenung bahwa Tuhanpun mengajari kita berbuat hal demikian. Kenapa Tuhan menyebut ”Kun Faya Kun” untuk menciptakan apa saja di alam ini termasuk manusia? Padahal Tuhan mampu walau tanpa sepatah katapun untuk mencipta, karena Tuhan adalah Maha Kuasa. Tapi Tuhan seolah membimbing manusia, bahwa urutannya selalu diawali berkehendak (input) mencipta, contoh makhluk, kemudian mengucap (proses) ”Kun Faya Kun” hasilnya (output) Manusia.

Manusia adalah sebaik-baik ciptaan, yang paling sempurna, hingga Iblis dan Malaikatpun diminta sujud padanya. Tapi apakah saya sudah sesempurna itu hingga Malaikat bisa sujud padaku? Masih mau sujudkah Malaikat padaku, kalau dalam kehidupan masih senang dengan hal-hal yang ”shortcut”? Saya berkecimpung didunia pendidikan tapi simbol pendidikanpun di ”shortcut”. ”Tut wuri Handayani” yang dipasang sebagai logo, dimana kata itu adalah membentuk opini sebagai outputnya. Saya jadi jengkel, berarti Pendidikan di Indonesia ini yang penting Outputnya, tidak peduli input dan prosesnya. Maka saya tidak berani menyalahkan, jika pendidikan di Indonesia menjadi amburadul. Ya mungkin karena butuh cuma outputnya saja. Semoga saya masih diberikan ”kewarasan” dalam menempuh dan menjalani hidup ini, hingga saya masih bisa kembali fitrah sebagai Manusia. Manusia yang disujud Malaikat. Amiin.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda