Kaki Bergerak Disuruh Siapa?


Oleh : Haryo K. Buwono


Saya sering berpikir dan bahkan berdiskusi tentang hal-hal yang remeh tapi menjadi buah pikiran. Diawali dari pertemuan dengan orang yang cacat, tapi dia memiliki kegigihan dalam menjalani hidup. Kehidupannya tidaklah mewah, tapi juga tidak sengsara. Dia bahkan tidak ingin dikasihani dan tidak minta untuk dimengerti. Saya bahkan melihatnya sebagai manusia paling sempurna walau tidak memiliki bagian yang lengkap dari tubuhnya, sebab dia tanpa 2 buah kakinya. Pekerjaan sehari-harinya adalah tukang jahit. Dia memiliki 1 orang isteri dan 1 orang anak. Saya menanyakan tentang ”pernahkah merasa tidak adil pada Tuhan karena terlahir dengan kondisi seperti ini?”. Dia menjawab dengan santainya ”Tuhan memberikan saya isteri yang baik dan anak yang siap mendoakanku saat aku mati sudah lebih dari istimewa.”


Saya kemudian teringat pada surat Al A’raaf ayat 189, huwa alladzii khalaqakum min nafsin waahidatin waja'ala minhaa zawjahaa liyaskuna ilayhaa falammaa taghasysyaahaa hamalat hamlan khafiifan famarrat bihi falammaa atsqalat da'awaa allaaha rabbahumaa la-in aataytanaa shaalihan lanakuunanna mina alsysyaakiriina. Yang diindonesiakan kurang lebih, ”Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".”. Jawaban orang cacat tadi sangat tergambar jelas dari ayat ini. Sangatlah pantas bila ia merasa tidak perlu dikasihani. Kemudian saya bertanya dalam hati ”kalau tanpa kaki saja bersyukurnya seperti itu, apalagi saya yang secara fisik sangat lengkap?”


Kaki ini digerakkan karena kehendak. Entah kehendak yang bersifat baik atau buruk, namun sebagian ilmuan mengatakan bahwa kaki bergerak karena digerakkan oleh otak. Apakah demikian halnya? Kalau manusia mati tentu masih punya otak, tapi kenapa tidak bisa gerak? Ilmuan itu tentu akan bilang ”kan sudah mati, mana bisa gerak?”. Berarti yang menggerakkan itu bukan otak. Kalau ada nyawa/ruh baru bisa menggerakan. Apa iya? Apakah bayi baru lahir, mampu mengontrol gerakannya? Lalu siapa yang mengontrol kaki ini pada kemauan bergeraknya? Tentunya adalah wujud keinginan, atau nafsu. Nafsu inilah yang menggerakkan kemana saja keinginan maukan. Kalau saya tidak segera sadar bahwa orang cacat, yang dikurangi kelengkapan tubuhnya, berarti secara tidak langsung dikurangi dari nafs-nya. Orang cacat kakinya tadi (sudah dikurangi keinginannya) masih bersyukur, kenapa saya tidak melampauinya, karena kelebihan tubuh saya? Apakah saya juga masih ingin dimengerti oleh orang lain? Semoga saya tergolong orang yang mensyukuri nikmatnya dari lengkapnya tubuh ini, sehingga mampu memanfaatkan tubuh ini untuk kebaikan dunia.

Read More

posted under , , | 0 Comments

Sakit Sebuah Karunia


By. Haryo K. Buwono


Seminggu yang lalu saya menderita sakit perut yang luar biasa. Dalam satu hari bisa mengunjungi dan duduk bersama dengan Water Closed, kurang lebih 6 kali per hari selama 6 hari. Badan saya memang tidak menjadi kurus karena itu, tapi alhamdulillah masih bisa kerja, walau tidak konsentrasi. Pola makan saya sebelum sakit, mungkin tidak terkontrol dalam hal mengunyah makanan yang memiliki golongan pedas. Tapi kalau kondisi sehat apapun menjadi oke, padahal saya sudah 4 kali memperoleh stempel dari dokter, typus. Kenapa dokter selalu memberi nama sebuah penyakit, dan disampaikan pada pasiennya, padahal yang saya butuhkan adalah bagaimana mencapai kesembuhan, bukan namanya.


Kalau dikutip dari ayat 80 dalam surat Asy Syu’araa’, Al Quran, menyatakan ”wa-idzaa maridhtu fahuwa yasyfiini”, yang disusun dalam bahasa indonesia ”Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku”. Tuhan menyembuhkan langsung? Tentu tidak! Tentu lewat input dan proses. Tidak mungkin berdoa saja Tuhan akan mengabulkan, saya yakin Tuhan minta ”action” saya dalam proses penyembuhannya. Bisa melalui datang ke dokter, beli obat atau yang paling mudah, beristirahat. Saya termasuk manusia yang yakin bahwa sakit atau sembuh itu bagai buah proses.


Allah kadang memberikan rejeki lewat sakit atau sehat, tapi bagi yang sulit bersyukur itu berarti Harga Mati (yang bisa diartikan ”sakitnya setengah mati”). Bukankah setengah mati sama dengan setengah hidup? Kenapa tidak berpikir positif, sehingga pernyataannya ”Ya Allah, sakitnya setengah hidup!”. Berpikir positif menyebabkan hasil positif. Sakit terjadi karena kekurangwaspadaan terhadap tubuh (badan wadag). Tuhan pun sering mengingatkan bahwa saya masih memiliki tubuh, dengan cara, sakit yang datang. Timbulnya sakit itupun sebenarnya, kalau tidak mau menyalahkan siapapun termasuk Tuhan, adalah datang dari diri ”Pribadi”.


Saya sampai saat ini sangat meyakini, bahwa Tuhan sudah memberikan ”semuanya” pada manusia (Tuhan tidak pelit), tapi kadang manusia terlalu pandai untuk menilai pemberianNya. Kata rejeki atau anugerah sering dihadapkan dengan kata cobaan. Kalau lagi sakit, tidak punya uang, dan tertimpa musibah, selalu dikatakan ”sedang diberi cobaan”. Tapi kalau sedang diberi sehat, tidak bilang apa-apa atau lupa bersyukur. Sedangkan kalau lagi ditanya karena uangnya berlimpah, barulah mengucapkan ”Saya sedang diberi rejeki”. Kata-kata ”sedang” adalah ungkapan yang tidak bersyukur. Sehari-harinya ketika dia mencari nafkah dengan bernafas, tidak terhitung sebagai rejeki. Manusia memang tempatnya lupa, tapi ini mungkin pembenar untuk boleh melupakan RejekiNya. Semoga saya bukan tergolong orang-orang sulit bersyukur.

Read More

posted under , , | 0 Comments

Tetangga Meninggal Bukan Hari Selasa


By: Haryo K. Buwono


Hari ini tetangga saya meninggal tepat pada hari Rabu, yang jikalau hari dihitung berdasar Kalender Jawa. Secara Kalender Masehi, tetangga saya itu meninggal hari Selasa jam 20.00 wib (atau jam 8 malam). Prinsip Kalender Jawa adalah perubahan hari dihitung mulai Ashar (sore hari). Hari ini pula, saya hanya bisa mengucap “innalillahi wa inna ilaihi rojjiun”, karena saya tidak sempat menyolatkannya (dengan alasan saya harus buru-buru ke kantor dengan kesibukan sehari-hari) dan hanya bisa memberikan salam bela sungkawa pada keluarga yang ditinggalkannya. Selama saya duduk di halaman depan rumah tetangga saya itu sambil berbasa-basi, terdengar beberapa percakapan yang bagi saya menarik. “Wah untung meninggalnya hari Rabu”, yang lainnya menimpali “Iya, coba kalau hari selasa, bisa nggeret (Indonesianya: mengajak).”


Kematian adalah hal yang sangat-sangat wajar bagi manusia yang hidup karena ada rohnya. “Tsumma sawwaahu wanafakha fiihi min ruuhihi waja'ala lakumu..” (QS:32:9) yang diindonesiakan kurang lebih “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya”. Ketika roh sudah ditiupkan kedalam jasad manusia (sesungguhnya bila tanpa roh tentu hanya seonggok bangkai), maka roh itu bergabung dengan “bangkai”, lalu timbullah nafs (keinginan). Sejak itulah manusia memiliki 3 bagian yaitu Nafs – Roh – dan Bangkai. “Keinginan” inilah yang mengakibatkan Manusia untuk terus ingin hidup dan seandainya mati adalah bentuk kesialan. Nafs ini juga yang menakut-nakuti perihal pasca kematian dan selalu menginginkan surga. Kecintaan pada dunia ini jugalah yang menyebabkan manusia lupa pada tujuan hidupnya, yaitu hidup berkualitas untuk bekal matinya. Karena ada Hidup dan ada Mati, maka manusia sering membedakan ibadahnya. “Bekerjalah yang maksimal seolah hidup selamanya dan Beribadahlah yang khusuk seolah mati esok hari”. Jadi bekerja bukan merupakan ibadah?


Lalu, kenapa manusia masih takut kalau digeret sama yang mati, padahal roh sendiri ingin sekali pulang pada penciptanya. Seandainya “digeret”, bukankah itu kebahagiaan bagi Roh? Apakah kalau mati hari rabu, juga tidak ada yang mati (digeret) di hari itu? Kenapa orang takut sekali dengan Selasa dan Sabtu? Demikian sehingga tidak diganti saja nama hari-hari itu, dan tidak ada lagi yang perlu ditakuti. Ataukah ini mungkin salah satu bentuk ketidakikhlasan menjalani hidup, atau mau senangnya tapi tidak mau susahnya. Mau “Tetek”nya tapi tidak mau “Bengek”nya. Padahal kata-kata senang itu pasti muncul pasca bersusah-susah. Semoga kematian tetangga saya menjadi hikmah yang sangat hakiki bagi saya. Dan semoga Roh tetangga saya bisa pulang kehadiratNya, serta keluarga yang ditinggalkan dapat melanjutkan cita-cita dari yang meninggal. Amin.

Read More

posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Recent Comments