Bohong untuk Kebaikan



Oleh : Haryo K. Buwono


Dalam menghadapi akreditasi di kampus saya, berbagai strategi telah dibangun, termasuk diantaranya membangun “sedikit” kebohongan. Akreditasi adalah ujung sebuah pengakuan yang (seharusnya) secara jujur dilakukan oleh perguruan tinggi dalam publikasi institusi untuk ukuran publik. Mungkin citra diri harus dibangun dari pondasi-pondasi yang sangat rapuh dan melenakan. Kejujuran menjadi sangat naif dicantumkan sebagai nilai yang sangat hakiki. Lalu kalau kebohongan yang dibentuk secara terus menerus ini menjadi landasan sebuah pengakuan apakah ini menjadi lazim?


Satu per satu tulisan dan data muncul dengan lancarnya diutarakan pada laporan akreditasi, tetapi rasa dalam hati ini, mungkin lebih tepat jiwa ini, berontak kesakitan. Mungkin yang rasa ini yang dimaksudkan pada Al Quran surat Al Baqarah ayat 10: “fii quluubihim maradhun fazaadahumu allaahu maradhan walahum 'adzaabun aliimun bimaa kaanuu yakdzibuuna” atau Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Kalau benar ini yang sudah ditunjukkan oleh Tuhan, pantas rasanya kebenaran itu sejati adanya.

Kalau saya membangun sesuatu, diawali dari sebuah kebohongan, saya yakin hasilnyapun tidak memuaskan. Saya bisa rasakan saat kuliah dahulu, bahwa saya pernah mengakali dosen dengan mencontek atau sejenisnya. Saat itu mungkin tidak dirasakan efek pencontekannya, dan benar ketika saya mendapatkan nilai A, saya sangat bahagia. Tapi dibalik kebahagiaan itu ternyata baru ditunjukan penyesalannya saat mulai bekerja. Dimana saat saya diminta untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang berkait mata kuliah yang mendapat nilai A tersebut, ternyata nol besar. Tuhan mungkin terlihat adil disini, kegembiraan di atas kebohongan sebenarnya hanyalah penyesalan yang tertunda. Sungguh, Neraka yang saya rasakan, saat ternyata ketidakmampuan diri ini, menjadi titik balik dari sebuah rasa malu. Ingin rasanya membangun citra diri dari sebuah kejujuran, dan ternyata jujur itu melegakan. Menjawab apa adanya (sederhana) dan bukan adanya apa (pangkal kebohongan), itu butuh proses. Apa adanya itu jujur, sedang adanya apa berarti mencari-cari mana yang butuh ditambal. Penasehatan berupa bohong untuk kebaikan, itu tidak masalah dan masih baik. Tapi kenapa yang sakit itu tetap di hati? Berarti kebaikanpun bisa menyakitkan. Lalu dimanakah batas-batas baik menurut hati?

Read More

Manusia hendaknya menunggu dimatikan atau meminta untuk diwafatkan?


Oleh Haryo K. Buwono

Saya hari ini mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman kuliah saat S1 dulu melalui jejaring internet. Sering terbesit dalam benak saya bahwa ulang tahun itu sebenarnya mengucapkan panjang umurnya ataukah semakin berkurangnya umur? Kalau saya mengucapkan panjang umurnya, tentu sangat melengahkan pada yang diberikan ucapan tersebut. Tetapi jikalau sebaliknya, tentu tidak menggembirakan. Lalu bagaimana mengucapkan selamat ulang tahun pada teman yang seusia, diatas umur saya atau pada anak kecil?

Karena ini teman saya, maka saya kemudian memberikan ucapan yang setengah-setengah. Ucapannya yaitu ”Tuhan masih sayang dan percaya padamu, bahwa umur panjangmu ini adalah untuk mampu memperbaiki dirimu dan lingkunganmu, agar saat matimu, kamu mampu ”kembali” dengan meminta untuk diwafatkan”. Saya memang sedikit terilhami dari Quran surat Al A’raaf ayat 126: ”wamaa tanqimu minnaa illaa an aamannaa bi-aayaati rabbinaa lammaa jaa-atnaa rabbanaa afrigh 'alaynaa shabran watawaffanaa muslimiina” yang diindonesiakan menjadi ”Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami". (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)".

Ulang tahun bagi usia anak-anak adalah hari yang ditunggu-tunggu karena akan mendapatkan hadiah yang berlimpah dari teman dan orang tua. Tetapi sangat berbeda ketika mensikapi ulang tahun di usia yang sudah mulai menginjak dewasa atau pendewasaan diri. Banyak sekali yang terlihat usianya sudah banyak dari jumlah angkanya, namun sikap dan pola pikirnyanya tidak mencerminkannya. Kadang saya terilhami dari sebuah kotak infaq masjid yang terus berjalan dan berhenti ketika sedang diisi, dan berjalan lagi dengan bertambahnya berat dan isi. Maksudnya bahwa manusia harus terus menatap bagaimana cara “pulang”nya, dengan sesekali berhenti untuk diisi dengan bertafakur, berdiam diri atau sejenisnya, hanya untuk sekadar merenungkan diri. Sholat saya hanya menjadi rutinitas, kadang tidak cukup untuk menghentikan bola liar yang ada dalam benak saya. Bola liar itu bisa pikiran yang sangat impresif menekan pada keperluan luar tubuh atau sisi badan wadag/tubuh. Jiwa saya terkadang tidak tersentuh. Saya bahkan sering mengasihani diri saya sendiri, bahwa ternyata perintah sholat itu hanya untuk “jengkang-jengking” saja. Dan, belum pada esensi sholat itu sendiri sesuai perintah Tuhan. Maka saya merasa perlu untuk menyelipkan sedikit waktu untuk berdiam diri, untuk sekedar diam saja atau berbicara dengan diri sendiri. Saya pernah dikatakan sebagai yang tidak islami. Menurut saya, pendewasaan perlu hantaman kritikan, bukan sekedar aman. Rasa aman malah biasanya melengahkan. Tapi jiwa yang tentram itu, (mungkin) yang mampu/siap untuk diwafatkan. Semoga saya bisa terilhami/tersadarkan setiap mengucapkan selamat ulang tahun pada siapa saja. Amin.

Read More

Berjiwa Besar atau Berpikir Jernih?


Oleh: Haryo K. Buwono


Saya suka sekali bergabung dan berinteraksi dengan berbagai millis. Fungsi dari ini adalah ingin mendewasakan diri dari perbedaan pengetahuan yang sering muncul saat bermillist. Keasikan atau rasa bahagia bisa muncul saat memiliki satu kesatuan mufakat. Namun bila hasilnya bertentangan dan tidak sinkron, maka kejengkelan atau kegundahan hati pun terjadi. Mungkin ini yang disebut hawa dari surga dan neraka. Mengkompromikan sesuatu yang tidak sepaham tentu menyebabkan kemasygulan dan ketidaknyamanan. Tapi apakah setiap manusia harus dibuat prototype yang sama sehingga segala sesuatunya bisa serba sepakat?


Seperti dalam surat Huud ayat 118 dalam Al Quran dinyatakan: ”walaw syaa-a rabbuka laja'ala alnnaasa ummatan waahidatan walaa yazaaluuna mukhtalifiina.”, yang dalam bahasa indonesianya sebagai berikut: ”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. Jadi memang dari awal penciptaan manusia tidak dibuat sama (homogen/tipikal). Manusia diciptakan dengan masing-masing berbeda otak, pemikiran dan emosionalnya. Kalau saya mampu mengendalikan ilmu pengetahuan, yang semakin lama semakin cepat keluar masuk otak, tentu saya akan mudah beradaptasi dengan pemikiran orang lain.


Saya sering menemui keganjilan dalam pendapat orang lain, tapi kalau saya berpendapat, mungkin juga dianggap ganjil oleh orang yang lain lagi. Maka jika saya merasa benar sendiri berarti saya semakin jauh dari kebenaran itu. Menciptakan komunikasi verbal maupun tulisan sering dan banyak disalahartikan sehingga muncul pro dan kontra. Isi dari Al Quran saja sering menimbulkan hal yang demikian itu. Contoh dalam Quran tersirat seolah seperti ”reinkarnasi”: ”Bumimu akan Aku gantikan dengan bumi yang lain”, pendapat yang lain menentangnya dengan memberi arti bahwa surat itu tentang bumi dan akhirat. Tapi pernahkah ada yang mencoba menyatukan? Justru yang muncul adalah perselisihan. Tapi kalau ilmu itu diendapkan pada diri masing-masing, yang artinya saling membawa bukan pendapat sendiri, pasti bisa muncul kebenaran itu. Artinya tetap pada kebenaran pikiran sendiri. Kebenaran hanya milik Tuhan, manusia hanya bisa mendekatinya saja. Semoga saya tergolong manusia yang mampu memilah-memilih dan mengolah segala macam informasi dan tidak cepat emosional ketika ada perbedaan pendapat.

Read More

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda