Sakit Sebuah Karunia


By. Haryo K. Buwono


Seminggu yang lalu saya menderita sakit perut yang luar biasa. Dalam satu hari bisa mengunjungi dan duduk bersama dengan Water Closed, kurang lebih 6 kali per hari selama 6 hari. Badan saya memang tidak menjadi kurus karena itu, tapi alhamdulillah masih bisa kerja, walau tidak konsentrasi. Pola makan saya sebelum sakit, mungkin tidak terkontrol dalam hal mengunyah makanan yang memiliki golongan pedas. Tapi kalau kondisi sehat apapun menjadi oke, padahal saya sudah 4 kali memperoleh stempel dari dokter, typus. Kenapa dokter selalu memberi nama sebuah penyakit, dan disampaikan pada pasiennya, padahal yang saya butuhkan adalah bagaimana mencapai kesembuhan, bukan namanya.


Kalau dikutip dari ayat 80 dalam surat Asy Syu’araa’, Al Quran, menyatakan ”wa-idzaa maridhtu fahuwa yasyfiini”, yang disusun dalam bahasa indonesia ”Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku”. Tuhan menyembuhkan langsung? Tentu tidak! Tentu lewat input dan proses. Tidak mungkin berdoa saja Tuhan akan mengabulkan, saya yakin Tuhan minta ”action” saya dalam proses penyembuhannya. Bisa melalui datang ke dokter, beli obat atau yang paling mudah, beristirahat. Saya termasuk manusia yang yakin bahwa sakit atau sembuh itu bagai buah proses.


Allah kadang memberikan rejeki lewat sakit atau sehat, tapi bagi yang sulit bersyukur itu berarti Harga Mati (yang bisa diartikan ”sakitnya setengah mati”). Bukankah setengah mati sama dengan setengah hidup? Kenapa tidak berpikir positif, sehingga pernyataannya ”Ya Allah, sakitnya setengah hidup!”. Berpikir positif menyebabkan hasil positif. Sakit terjadi karena kekurangwaspadaan terhadap tubuh (badan wadag). Tuhan pun sering mengingatkan bahwa saya masih memiliki tubuh, dengan cara, sakit yang datang. Timbulnya sakit itupun sebenarnya, kalau tidak mau menyalahkan siapapun termasuk Tuhan, adalah datang dari diri ”Pribadi”.


Saya sampai saat ini sangat meyakini, bahwa Tuhan sudah memberikan ”semuanya” pada manusia (Tuhan tidak pelit), tapi kadang manusia terlalu pandai untuk menilai pemberianNya. Kata rejeki atau anugerah sering dihadapkan dengan kata cobaan. Kalau lagi sakit, tidak punya uang, dan tertimpa musibah, selalu dikatakan ”sedang diberi cobaan”. Tapi kalau sedang diberi sehat, tidak bilang apa-apa atau lupa bersyukur. Sedangkan kalau lagi ditanya karena uangnya berlimpah, barulah mengucapkan ”Saya sedang diberi rejeki”. Kata-kata ”sedang” adalah ungkapan yang tidak bersyukur. Sehari-harinya ketika dia mencari nafkah dengan bernafas, tidak terhitung sebagai rejeki. Manusia memang tempatnya lupa, tapi ini mungkin pembenar untuk boleh melupakan RejekiNya. Semoga saya bukan tergolong orang-orang sulit bersyukur.

posted under , , |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Recent Comments