Tetangga Meninggal Bukan Hari Selasa


By: Haryo K. Buwono


Hari ini tetangga saya meninggal tepat pada hari Rabu, yang jikalau hari dihitung berdasar Kalender Jawa. Secara Kalender Masehi, tetangga saya itu meninggal hari Selasa jam 20.00 wib (atau jam 8 malam). Prinsip Kalender Jawa adalah perubahan hari dihitung mulai Ashar (sore hari). Hari ini pula, saya hanya bisa mengucap “innalillahi wa inna ilaihi rojjiun”, karena saya tidak sempat menyolatkannya (dengan alasan saya harus buru-buru ke kantor dengan kesibukan sehari-hari) dan hanya bisa memberikan salam bela sungkawa pada keluarga yang ditinggalkannya. Selama saya duduk di halaman depan rumah tetangga saya itu sambil berbasa-basi, terdengar beberapa percakapan yang bagi saya menarik. “Wah untung meninggalnya hari Rabu”, yang lainnya menimpali “Iya, coba kalau hari selasa, bisa nggeret (Indonesianya: mengajak).”


Kematian adalah hal yang sangat-sangat wajar bagi manusia yang hidup karena ada rohnya. “Tsumma sawwaahu wanafakha fiihi min ruuhihi waja'ala lakumu..” (QS:32:9) yang diindonesiakan kurang lebih “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya”. Ketika roh sudah ditiupkan kedalam jasad manusia (sesungguhnya bila tanpa roh tentu hanya seonggok bangkai), maka roh itu bergabung dengan “bangkai”, lalu timbullah nafs (keinginan). Sejak itulah manusia memiliki 3 bagian yaitu Nafs – Roh – dan Bangkai. “Keinginan” inilah yang mengakibatkan Manusia untuk terus ingin hidup dan seandainya mati adalah bentuk kesialan. Nafs ini juga yang menakut-nakuti perihal pasca kematian dan selalu menginginkan surga. Kecintaan pada dunia ini jugalah yang menyebabkan manusia lupa pada tujuan hidupnya, yaitu hidup berkualitas untuk bekal matinya. Karena ada Hidup dan ada Mati, maka manusia sering membedakan ibadahnya. “Bekerjalah yang maksimal seolah hidup selamanya dan Beribadahlah yang khusuk seolah mati esok hari”. Jadi bekerja bukan merupakan ibadah?


Lalu, kenapa manusia masih takut kalau digeret sama yang mati, padahal roh sendiri ingin sekali pulang pada penciptanya. Seandainya “digeret”, bukankah itu kebahagiaan bagi Roh? Apakah kalau mati hari rabu, juga tidak ada yang mati (digeret) di hari itu? Kenapa orang takut sekali dengan Selasa dan Sabtu? Demikian sehingga tidak diganti saja nama hari-hari itu, dan tidak ada lagi yang perlu ditakuti. Ataukah ini mungkin salah satu bentuk ketidakikhlasan menjalani hidup, atau mau senangnya tapi tidak mau susahnya. Mau “Tetek”nya tapi tidak mau “Bengek”nya. Padahal kata-kata senang itu pasti muncul pasca bersusah-susah. Semoga kematian tetangga saya menjadi hikmah yang sangat hakiki bagi saya. Dan semoga Roh tetangga saya bisa pulang kehadiratNya, serta keluarga yang ditinggalkan dapat melanjutkan cita-cita dari yang meninggal. Amin.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Recent Comments