Berjiwa Besar atau Berpikir Jernih?


Oleh: Haryo K. Buwono


Saya suka sekali bergabung dan berinteraksi dengan berbagai millis. Fungsi dari ini adalah ingin mendewasakan diri dari perbedaan pengetahuan yang sering muncul saat bermillist. Keasikan atau rasa bahagia bisa muncul saat memiliki satu kesatuan mufakat. Namun bila hasilnya bertentangan dan tidak sinkron, maka kejengkelan atau kegundahan hati pun terjadi. Mungkin ini yang disebut hawa dari surga dan neraka. Mengkompromikan sesuatu yang tidak sepaham tentu menyebabkan kemasygulan dan ketidaknyamanan. Tapi apakah setiap manusia harus dibuat prototype yang sama sehingga segala sesuatunya bisa serba sepakat?


Seperti dalam surat Huud ayat 118 dalam Al Quran dinyatakan: ”walaw syaa-a rabbuka laja'ala alnnaasa ummatan waahidatan walaa yazaaluuna mukhtalifiina.”, yang dalam bahasa indonesianya sebagai berikut: ”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. Jadi memang dari awal penciptaan manusia tidak dibuat sama (homogen/tipikal). Manusia diciptakan dengan masing-masing berbeda otak, pemikiran dan emosionalnya. Kalau saya mampu mengendalikan ilmu pengetahuan, yang semakin lama semakin cepat keluar masuk otak, tentu saya akan mudah beradaptasi dengan pemikiran orang lain.


Saya sering menemui keganjilan dalam pendapat orang lain, tapi kalau saya berpendapat, mungkin juga dianggap ganjil oleh orang yang lain lagi. Maka jika saya merasa benar sendiri berarti saya semakin jauh dari kebenaran itu. Menciptakan komunikasi verbal maupun tulisan sering dan banyak disalahartikan sehingga muncul pro dan kontra. Isi dari Al Quran saja sering menimbulkan hal yang demikian itu. Contoh dalam Quran tersirat seolah seperti ”reinkarnasi”: ”Bumimu akan Aku gantikan dengan bumi yang lain”, pendapat yang lain menentangnya dengan memberi arti bahwa surat itu tentang bumi dan akhirat. Tapi pernahkah ada yang mencoba menyatukan? Justru yang muncul adalah perselisihan. Tapi kalau ilmu itu diendapkan pada diri masing-masing, yang artinya saling membawa bukan pendapat sendiri, pasti bisa muncul kebenaran itu. Artinya tetap pada kebenaran pikiran sendiri. Kebenaran hanya milik Tuhan, manusia hanya bisa mendekatinya saja. Semoga saya tergolong manusia yang mampu memilah-memilih dan mengolah segala macam informasi dan tidak cepat emosional ketika ada perbedaan pendapat.

posted under , , |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda