Manusia hendaknya menunggu dimatikan atau meminta untuk diwafatkan?


Oleh Haryo K. Buwono

Saya hari ini mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman kuliah saat S1 dulu melalui jejaring internet. Sering terbesit dalam benak saya bahwa ulang tahun itu sebenarnya mengucapkan panjang umurnya ataukah semakin berkurangnya umur? Kalau saya mengucapkan panjang umurnya, tentu sangat melengahkan pada yang diberikan ucapan tersebut. Tetapi jikalau sebaliknya, tentu tidak menggembirakan. Lalu bagaimana mengucapkan selamat ulang tahun pada teman yang seusia, diatas umur saya atau pada anak kecil?

Karena ini teman saya, maka saya kemudian memberikan ucapan yang setengah-setengah. Ucapannya yaitu ”Tuhan masih sayang dan percaya padamu, bahwa umur panjangmu ini adalah untuk mampu memperbaiki dirimu dan lingkunganmu, agar saat matimu, kamu mampu ”kembali” dengan meminta untuk diwafatkan”. Saya memang sedikit terilhami dari Quran surat Al A’raaf ayat 126: ”wamaa tanqimu minnaa illaa an aamannaa bi-aayaati rabbinaa lammaa jaa-atnaa rabbanaa afrigh 'alaynaa shabran watawaffanaa muslimiina” yang diindonesiakan menjadi ”Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami". (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)".

Ulang tahun bagi usia anak-anak adalah hari yang ditunggu-tunggu karena akan mendapatkan hadiah yang berlimpah dari teman dan orang tua. Tetapi sangat berbeda ketika mensikapi ulang tahun di usia yang sudah mulai menginjak dewasa atau pendewasaan diri. Banyak sekali yang terlihat usianya sudah banyak dari jumlah angkanya, namun sikap dan pola pikirnyanya tidak mencerminkannya. Kadang saya terilhami dari sebuah kotak infaq masjid yang terus berjalan dan berhenti ketika sedang diisi, dan berjalan lagi dengan bertambahnya berat dan isi. Maksudnya bahwa manusia harus terus menatap bagaimana cara “pulang”nya, dengan sesekali berhenti untuk diisi dengan bertafakur, berdiam diri atau sejenisnya, hanya untuk sekadar merenungkan diri. Sholat saya hanya menjadi rutinitas, kadang tidak cukup untuk menghentikan bola liar yang ada dalam benak saya. Bola liar itu bisa pikiran yang sangat impresif menekan pada keperluan luar tubuh atau sisi badan wadag/tubuh. Jiwa saya terkadang tidak tersentuh. Saya bahkan sering mengasihani diri saya sendiri, bahwa ternyata perintah sholat itu hanya untuk “jengkang-jengking” saja. Dan, belum pada esensi sholat itu sendiri sesuai perintah Tuhan. Maka saya merasa perlu untuk menyelipkan sedikit waktu untuk berdiam diri, untuk sekedar diam saja atau berbicara dengan diri sendiri. Saya pernah dikatakan sebagai yang tidak islami. Menurut saya, pendewasaan perlu hantaman kritikan, bukan sekedar aman. Rasa aman malah biasanya melengahkan. Tapi jiwa yang tentram itu, (mungkin) yang mampu/siap untuk diwafatkan. Semoga saya bisa terilhami/tersadarkan setiap mengucapkan selamat ulang tahun pada siapa saja. Amin.

posted under , , |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda