Jika Ramadhan itu hanya Ilusi


oleh : Haryo K. Buwono

Sebuah bilangan matematika sebenarnya adalah abstrak, namun karena diyakini maka angka tersebut menjadi bisa ditambah, dikurang, dibagi atau dikali. Kita mempresentasikan angka-angka berupa “kebohongan” statistikpun bisa menjadi patokan akan arti kebenaran. Manchester United saja percaya akan statistik ini, walau belum dijalani pertandingannya. Arti kebenaran disini tentu bukan absolut. Kebenaran absolut atau 100% hanya milik Tuhan Pencipta Semesta Alam.

Manusia berusaha mendekati akan penciptaNya. Misalnya keadilan, manusia menciptakan Hukum manusia yang masih mungkin dijungkir balikkan oleh si manusia itu sendiri. Manusia juga menciptakan sebuah partikel awal terciptanya alam semesta ini, lewat CERN, sebuah mega proyek di Eropa, yang masih dikhawatirkan mampu menjadi BlackHole di Bumi karena energinya mendekati kecepatan cahaya.

Jika semua itu diciptakan dengan keyakinan, maka segala permasalahan bisa diolah dalam naungan cita-cita atau obsesi. Begitu juga dengan Ramadhan, dimana Tuhan menciptakan satu bulan yang dinyatakan penuh rahmat dan ampunan. Namun untuk apa Tuhan menciptakan bulan itu? Kenapa harus Ramadhan? Kenapa Bukan Dzulhijah atau bulan-bulan yang lain yang dijadikan ”istimewa” itu?

Kalau nama bulan itu ciptaan Tuhan lewat perantaraan nabi-nabi, kenapa puasa yang diwajibkan atas manusia sebagai mana orang-orang terdahulu (Quran surat Al Baqarah 183) , itu dijatuhkan di bulan ramadhan? Berarti bukan nama bulannya yang penuh berkah, namun esensi puasanya itulah yang membangkitkan sendi-sendi nur Illahi dalam diri. Kalau bulan Ramadhan, manusia tidak menjalankan puasa atau puasa tapi hanya menahan lapar dan haus saja, apakah bisa mendapatkan safaat dari Tuhan Yang Maha Kasih? Jawabannya, Tentu Tidak! Tanpa didasari keimanan dalam menjalankan puasa kapan saja atau apa saja, entah karena wajib atau sunnah, tidak mungkin mendapatkan ”Berkah”Nya walaupun dikatakan ”Bulan Ramadhan adalah Bulan Penuh Berkah”. Berkah ini tentu bagi yang ”menjalani” dan siap ”ditempa” untuk mengendalikan hawa nafsunya. ”Pemaksaan” dengan kata wajib pada bulan ”Ramadhan”, ternyata sangat efektif. Dimana masa Ramadhan rasa saling memberi/berkasih sayang untuk sedekah, sangat tinggi, dan untuk mengendalikan nafsu-nafsu pun menjadi otoritas utama. Pada nuansa itulah rasanya seperti membelenggu setan-setan. Jadi yang membelenggu setan itu bukan ramadhannya, melainkan diri kita sendiri.

Adanya bulan tempaan ini, diharapkan, agar manusia selalu meningkat dari tahun ke tahun hingga akhir hayatnya. Dan, Brain wash di bulan ramadhan ini, bisa meningkatkan kecintaan dengan Tuhan, lewat ayat-ayat yang nyata, maupun mengilhami dari yang tertulis. Artinya pasca Ramadhan atau berlebaran, bukan diartikan lebaran yang berarti selesai (lebar, bahasa jawa) dan diakhirinya semua kegiatan kebaikan-kebaikan yang selama ramadhan telah dijalani. Memang lebaran artinya selesai atau di ”wisuda” bisa sukses menjalani esensi puasanya, namun tidak kembali lagi saat sebelum menjalani berpuasa ramadhan. Bila kembali, berarti gagal. Gagal ini dinyatakan oleh hati nurani manusia itu sendiri, sehingga nilai kepantasan untuk ”meningkat” tidak mampu direalisasikan. Jika ramadhan bukan ilusi, berarti nyata adanya perubahan pada diri ini. Semoga saya terus termotifasi meningkatkan diri dengan adanya Ramadhan yang penuh hikmah ini.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Recent Comments