Puasa, Jujur dan Konsistenitas


Oleh: Haryo K. Buwono

Puasa hari ini telah dimulai (Sabtu, 22/08/09), dan pada puasa hari pertama ini banyak waktu saya berada dalam Kereta Eksekutif Taksaka tujuan Yogyakarta – Jakarta. Kebetulan kereta berhenti di stasiun Kutoajo, Purworejo, tempat saya tinggal. Memang hari ini cukup nyaman untuk berpuasa. Dalam perjalanan menuju Jakarta ini ternyata ada hikmah kejadian yang cukup menggelitik, yaitu saat sebelum berangkat, masih di stasiun Kutoarjo. Kebetulan, ada percakapan 4 orang disebelah saya. Uraiannya sebagai berikut: “Pak perjalanan ini boleh membatalkan puasa khan? Jawab yang lain “Bisa tapi kalau sudah naik kereta dan keretanya sudah jalan”, yang lainnya lagi, mungkin suami dari yang bertanya, “Iya betul, kita khan katagori musafir”. Dan yang cenderung pendiam, cuma senyum-senyum penuh makna.

Saya merasa ada yang ganjil saat mendengarkan percakapan itu, pertama mau membatalkan puasa yang “diniati”, kedua, “kalau sudah naik kereta” dan yang ketiga “katagori musafir”. Saya merasa pertanyaan dan pernyataan itu memiliki bobot yang beragam. Saya memikirkan pertanyaan pertama, meniatkan membatalkan puasa. Sebenarnya puasa itu untuk siapa sih? Bukankah tidak ada yang memaksa untuk puasa? Tetapi kesan yang muncul, ada yang memaksa. Puasa itu, bukannya untuk keteguhan diri dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, termasuk diantaranya mengendalikan nafsu ingin makan dan minum? Kalau dari awalnya tidak ingin puasa, kenapa harus puasa? Puasa itu bukankah untuk diri pribadi, kejujuran dan bukan untuk ritualitas, atau puasa karena ”bulannya”. Apakah puasa karena malu kalau tidak berpuasa di bulan Ramadhan?. Innama a’malubinniat.

Pernyataan orang kedua tentang ”kalau sudah naik kereta”, jadi lucu kedengarannya. Puasa batal karena naik kereta. Karena alasan berpergian jauh maka harus membatalkan puasanya. Kenapa tidak saat waktu mulai dari rumah saja membatalkannya? Mungkin jarak dari rumah ke stasiun tidak jauh, jadi tidak perlu dibatalkan. Kalau naik kereta, jarak tempuhnya melampaui jarak kriteria harus membatalkan. Tuhan tidak memberatkan bagi umatnya untuk berpuasa, artinya niatannya puasa, tapi jika pada suatu saat tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan puasanya, maka harus menyegerakan membatalkannya. Jarak yang dimaksud jaman Rosul dan jaman sekarang tentu sama, tetapi kendaraan yang digunakan, itu yang berbeda. Dahulu Onta atau Kuda sekarang Kereta, Mobil dan Pesawat Udara. Apakah ”harus” membatalkan puasanya jika jarak tempuh itu digunakan transportasi Pesawat Udara, dimana Jogja ke Jakarta hanya ditempuh waktu 45 menit? Betapa malunya! Waktu terbitnya sang fajar hingga terbenamnya matahari sejajar dengan 45 menit! Luar biasa! Atau kalau naik kereta yang tidak memerlukan energi, yaitu hanya duduk dan diberikan sejuknya AC, ”harus” memikirkan untuk membatalkan puasa?

Kenapa pernyataan terakhir yaitu sebagai musafir adalah ”pembenar nafsu” makan dan minum manusia? Kalau memang berat untuk puasa kenapa mencari-cari pembenar untuk membenarkan tindakannya, atau ekstrimnya ”mengelabuhi” Tuhan dengan nafsu manusia. Seharusnya, kalau puasanya tidak kuat maka segera membatalkannya, dan ketika tubuh ini sudah pulih untuk berpuasa, maka lanjutkanlah puasanya, walau tidak terhitung sebagai puasa yang utuh. Tetapi bukankah ini menjadi alat penempaan diri pada keteguhan pada pengendalian nafsu? Semoga saya diberikan kemampuan mengendalikan diri pada nafsu-nafsu duniawi yang menghambat ”kepulangan” saya menghadap sang khaliq.

posted under , |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda