Kehidupan adalah Jalan


Oleh: Haryo K. Buwono

Kejadian 1 bulan yang lalu, bulan Juni 2009 jam 8 malam, tepatnya sewaktu saya menunggu isteri pada lokasi meeting point, Jakarta Design Center, Slipi. Saya merasakan, betapa hidup saya ini jauh lebih indah dari apa yang saat itu saya saksikan. Kejadiannya, seorang ibu dan anaknya dengan rasa kebingungan, berjalan mondar-mandir, didepan saya saat sendirian menunggu. Dan, karena kasihan, maka saya memberanikan untuk bertanya, ”mohon maaf sedang mencari siapa bu?”, Ibu yang berusia antara 30 sampai 40an itu segera menjawab, “Sedang mencari Bapaknya anak-anak, apa bapak melihatnya?, dia ini tukang ojek, pak”. Setelah bertanya jawab, akhirnya cukup meredakan kegalauannya, karena “beruntung” saya sempat melihat ciri-ciri “tukang ojek” yang diceritakan ibu tersebut. Dan, ibu itu berterimakasih, lalu beliau menjelaskan bahwa adik dari anak laki-laki yang berjalan bersamanya itu sedang sakit panas, yang kata Dokter harus dirawat di Rumah Sakit. Kata ibu itu lagi, bahwa suaminya sesungguhnya adalah Guru Ngaji di daerah Kemanggisan, namun untuk menambah kebutuhan keluarga, mencari tambahan dengan “mengojek”. Saya sempat menyodorkan sejumlah uang, namun ibu itu menolaknya, dengan alasan “takut tidak sempat membalas budi”. Luar biasa, alasan yang masuk akal, dan sangat jarang terjadi pada era sekarang ini. Ibu itu berlalu ke suatu tempat yang saya tunjuk, dengan meninggalkan saya yang kembali seorang diri. Dengan rasa haru, saya seraya bergumam, “Sungguh hebat keluarga ini!”

Lho, sengsara kok hebat? Bagi saya, “sengsara” itu, karena ada “ketidaksengsaraan”. Kalau kesehariannya keluarga ini bergelut dengan hal yang disebut “sengsara” bagi orang lain, apakah masih bisa disebut sengsara? Setiap manusia, hidup itu punya “jalan” masing-masing. Tidak ada yang mengatur semua manusia itu harus kaya. Tidak ada juga yang mengharuskan ada yang miskin, supaya ada yang disebut kaya. Tetapi memiliki “bahagia” saat menjalani hidupnya. Mungkin, kebahagiaan keluarga tadi, adalah memiliki anak yang berbakti dan baik bagi orangtuanya. Terbukti saat ibunya mencari suaminya, anak laki-laki yang baru berusia 6 tahunan, memberanikan diri mengantar ibunya dikegelapan malam.

Kehidupan ini adalah lompatan quantum yang tak terduga. Kadang yang Manusia sebut itu kesengsaraan, tetapi untuk esok harinya manusia sedikitpun tidak mengetahui, apakah masih sengsara atau bahagia. Manusia sering ”menuntut” untuk selalu berlaku: bahagia, kaya, sukses, menang, sehat dan yang ”plus-plus” yang lain. Kalau menerima yang tidak sesuai dengan ”Hawa Nafsu” manusia, langsung dengan sigap manusia menjustifikasi sebagai ”cobaan”, yang sebenarnya ungkapan dari asa dan rasa kecewa dengan Tuhan. Lho ini apa? Tuhan kok ”dikelabuhi” dengan seolah-olah menerima apa yang terjadi, tapi kata-kata yang muncul justru berupa kekecewaan, yaitu ”diberi cobaan”. Padahal Manusia ”jengkang-jengking” bersholat, berlapar-lapar puasa itu bukan untuk meminta yang ”plus-plus” tadi, dan ”pandai menilai Tuhan” pada setiap kejadiannya, melainkan menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Dari kejadian tersebut, semoga saya diberkan kemampuan menerima semua ”kejadian” dalam hidup ini, sebagai berkah kasih sayang Tuhan. ”Dengan Menerima Hidup sebagaimana Datangnya Hidup itu”. Kehidupan adalah Jalan menuju ”Innalillahi wa innailaihi rojjiun”. Amiin.

posted under , |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda