Saat Terakhir WS Rendra




Oleh: Haryo K. Buwono

Manusia sarat dengan Karya dan Prestasi, tapi itu bagi yang sadar, bahwa hidup ini singkat untuk berlaku yang “neko-neko”. Saya kenal WS Rendra karena saya senang dengan puisi. Puisi saya bukan tipikal atau mirip atau juga sejajar dengan beliau. Tetapi puisi inilah mencipta kehalusan budi dengan rangkaian kata-kata. Terkadang muncul kata-kata kasar, jorok atau minimalis, tetapi sebuah narasi puisi, adalah ungkapan terjujur yang dikreasi menjadi imajinatif.

WS Rendra bukanlah manusia yang baru kemarin mencipta puisi tentang kearifan Alam, Tuhan dan Manusia, saya katakan dia adalah sejatinya pencinta. Saya tidak menyinggung tentang kehidupannya, karena manusia memerankan perannya sebaik mungkin di Dunia ciptaan Allah. WS Rendra memerankan sebagai seorang seniman sehingga diapun terjuluki dan mashur dengan “Si Burung Merak”. Setiap manusia yang selalu dinanti bukanlah kesuksesan, bukanlah pengakuan dan bukan pula kemashuran, melainkan menjadi yang sesungguhnya mati karena kenal yang dicintai, yaitu Tuhan Semesta Alam.

Saya mencoba mengutip puisi terakhirnya, yang di”sekretaris” oleh Adi Kurdi tanggal 31 Juli 2009 di RS Mitra Keluarga saat WS terbaring sakit. Begini petikannya:

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga

Sungguh, ini mungkin sama yang dirasakan saya, isteri, adik dan adik ipar, bahwa ini mirip almarhum bapak saya. Gaya kerasnya kemudian terlihat lembut dimasa akhirnya. Harapannya bukan minta terus hidup, melaikan minta dijemput agar bisa lebih hangat dicintai Tuhannya ketika “kembali”. Tubuh ini adalah boundary, batasan yang mudah menjauhkan dari Dzatnya. Dengan terlepasnya Ruh dari Wadahnya, “sangat indah” rasanya, ruh ini terlepas dari hasrat-hasrat duniawi yang sangat semu. Contoh saja WS Rendra memilih jalur seni yang jauh dari standar cita-cita sewaktu masih kanak-kanak. Karena Seni bukanlah pilihan, seni itu menjauhkan dari kekayaan. Kaya itu semu, apa indikator kaya itu? Kalau yang belum punya mobil, selalu bilang kaya itu punya mobil banyak. Kalau yang belum punya anak, kaya itu memiliki anak-anak yang lucu-lucu. Kalau yang belum punya tempat tinggal, kaya itu punya rumah yang mewah dan besar. Tapi “kalau-kalau” yang tadi sudahlah terpenuhi, ada dan maujud, apakah manusia masih ingin kaya lagi? Jawabannya pasti “YA!”. Tubuh manusia inilah yang menggiring kepada hasrat atau nafsu yang semu. Nyatanya tidak ada kata “kaya” yang sesungguhnya.

Saya sangat tersentuh dan haru membaca dari koran harian, tentang kata-kata terakhirnya. Kata terakhir tersebut adalah “Saya sangat Bahagia!”, sebelum dihembusan nafas terakhirnya. Saya yakin puisi di atas adalah “surat cintanya” pada Sang Khalik dan terkabulkan. Kebahagiaan dari sakit tubuhnya, ternyata hanya untukNya. Kata WS: “Tuhan, Aku Cinta Kamu”, maka Innalillah wa inna ilaihi rojjiun. Nikmatilah kepulanganmu Rendra, saya pun ingin sepertimu.

posted under , |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda