Menyalahkan atau Membenarkan?


Oleh: Haryo K. Buwono


Virus facebook sudah merebak dimana-mana, mulai dari warnet, kantor hingga fitur Blackberry. Kalau dilihat haram, mungkin iya, jika dilihat dari sisi negatifnya. Justru mungkin juga banyak dari sisi positifnya. Saya sangat tertarik ketika mengisi komentar-komentar pada situs pertemanan facebook tersebut. Saat itu ketika mengomentari beberapa catatan (note) yang berbau agama, menarik sekali, saya bisa banyak belajar dari beberapa komentar teman-teman yang lain.


Seandainya Muhammad, Isa dan Musa terlahir atau diturunkan pada masa sekarang, tentu komentar atau perbedaan menjadi sangat sedikit. Sangatlah kebetulan Muhammad dinyatakan sebagai nabi terakhir, atau yang menganut kristen, Isa yang terakhir, atau anutan yang lain, sehingga dalam menterjemahkan kitab suci sudah berbeda-beda sesuai kemampuan menyerap wahyu tersebut. Cukup banyak aliran dan paham yang berkembang pesat pada semua agama, sehingga banyak yang mengaku “inilah yang paling benar!”. Bahkan saling mengundang kebencian sesama pemeluk agama. Saya menjadi berpikir apakah agama itu untuk kelompok, ataukah untuk pribadi?


Saya teringat pada salah satu ayat dalam Al Quran, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu tuntunnmu/agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi tuntunan/agama bagimu.” (AL MAA-IDAH, ayat 3), yang berarti tuntunan hidup itu memang untuk “mu (tunggal/manusia pribadi)”. Saya tidak melihat yang lain, selain tuntunan itu untuk diri pribadi. Tetapi yang saya rasakan, seolah ini berubah menjadi kelompok-kelompok. Kemudian saya bertanya pada diri, Apakah ada ketakutan kalau “sendiri” dalam membuat putusan-putusan hidup? Ataukah ada kebanggaan lain yang dirasakan, jika berkelompok?


Ada komentar dalam berfacebook yang saling menjatuhkan sesama tuntunan, yang seolah kebenaran absolut ada pada pikirannya/kelompoknya. Saya sering menggunakan pertanyaan yang mungkin mengundang kebencian, “Apakah anda yang menyalahkan saya, yakin bisa bertemu dengan Penciptamu kelak, bila saat mati, anda masih memendam kebencian?" Saya pernah ingat cerita dari beberapa uztad dan kebetulan cerita itu sama, yang kurang lebih, “Seorang pelacur, ketika hendak mencari jalan kebenaran, yang sebelum matinya, sempat memberikan separuh makanan yang ada ditangannya untuk anjing yang sedang sekarat. Tuhan mengangkat derajat pelacur itu yang tertinggi, untuk dimasukkan dalam surga”. Cerita tersebut menggambarkan, pelacur yang dalam hidupnya, notabene penuh kekotoran, tetapi dimasukkan surga karena sempat mencari kebenaran, juga dalam dirinya tersimpan jiwa yang penuh cinta kasih. Cinta pada diri dan ciptaan Tuhan, terlihat dengan caranya berbagi makanan. Teman saya menanyakan pada saya, “Lha mas, kalau ‘ada’ Uztad atau pemimpin agama yang dalam hidupnya selalu mengajak untuk membenci sesama umat Tuhan, masuk surga nggak?” Tentu saya jawab “Tidak tahu! Itu Hak mutlak Tuhan!”. “Lalu mengapa harus merasa paling benar ya?” kata temanku lagi. Saya tidak menjawabnya, karena pertanyaan itu sudah mengandung makna dengan jawabannya.


Manusia adalah makhluk sosial, yang suka berkelompok dan bermassa. Semakin banyak massanya maka akan semakin kuat. Apakah ini juga termasuk dalam beragama, dimana disaat matinya adalah pulang sendiri-sendiri? Semoga menjelang mati, saya bisa mengerti akan pertanyaan ini. Karena kematian adalah yang terdekat bagi setiap manusia yang hidup, maka saya akan terus mencintai Tuhan dengan salah satunya mencintai ciptaanNya.

posted under , , |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda