Sendal hilang dan kurang sedekah


By Haryo K. Buwono


Pengalaman ini mungkin sering terjadi pada diri saya, karena tidak hanya satu atau dua kali terjadi. Pergi ke masjid adalah suatu ibadah disamping ada ibadah lain yang mungkin sejenis. Tapi pergi ke masjid tentu butuh modal? Modal yang sering disampaikan oleh pak kiai adalah modal keimanan dan ketakwaan. Ada yang sering terlupakan bahwa Saya pun butuh modal yang sangat fisik sekali, yaitu sehat, sandang dan yang mungkin paling remeh adalah sendal jepit.


Sewaktu berangkat, misal sholat jumat, selalu ada pikiran khawatir kalau mengenakan sepatu yang mahal atau kelihatan mahal. Kekhawatiran ini tentu sangat manusiawi yaitu takut kehilangan barang yang mungkin harus banting tulang untuk mendapatkannya, atau hasil pemberian seseorang yang sulit terlupakan. Sayapun demikian. Berusaha mengganti alas kaki, dengan yang kelihatan remeh. Secara tidak saya sadari, bahwa saya sudah berpikiran negatif pada salah satu atau banyak umat yang datang di masjid tersebut adalah pencuri. Padahal guru ngaji saya pernah mengatakan “kita tidak boleh berburuk sangka pada siapapun, karena itu menyengsarakan diri kita sendiri”. Ini sangat betul sekali, tapi nyatanya saya sebelum berangkat ke masjid selalu nervous pada alas kaki ini. Seandainya tidak ada kesempatan untuk menggantinya dengan sendal jepit, sewaktu meletakkan sepatu saya curiga pada orang-orang sekitar saya, sehingga saya meletakkannya ditempat yang sangat istimewa, sulit dijangkau dan rumit.


Tadi, sewaktu sholat jumat, saya mengalami nasib apes lagi. Saya sudah mengganti sepatu saya dengan sendal jepit, ternyata masih raib juga. Lalu beberapa teman saya mengatakan “kamu kurang sedekah atau infak”, yang lain lagi mengatakan “Jangan-jangan kamu belum berzakat ya?”. Sungguh, saya sudah jatuh tertimpa tangga, sudah kehilangan dan dituduh pula. Ternyata sangat berhubungan erat sekali dengan kehilangan dan sedekah. Apakah demikian? Saya terus mencoba berhitung, “saya khan sudah menyumbang masjid, anak yatim dan….” Terus dijumlah dan harganya sangat jauh dari sendal itu. Lalu saya menghitung rejeki saya, “bulan januari, februari dan… sudah saya infaq zakat”. Kemudian saya terkaget sendiri. Bukankah saya seharusnya ikhlas dengan apa yang saya sedekah, infaq dan zakatkan, tapi kenapa masih saya hitung? Kenapa masih juga saya kalkulasi? Jadinya tangan kiri tahu apa yang diberikan oleh tangan kanan, dan keikhlasanpun luntur.


Kok jadi semakin banyak salahnya, dari mulai sebelum berangkat sampai pulang sholat? Padahal dengan kehilangan itu, kalau saya suka berpikir positif tentu saya akan bilang ”disuruh beli yang baru kali?” atau ”ah tidak apa-apa itu sudah jelek kok”. Kalau seandainya, saya menyegerakan pergi ke toko Bu Parto untuk sekedar beli sendal, tentu pikiran ini tidak terjadi dan keikhlasan pun terjaga. Tapi mungkin kalau diawali pikiran negatif selalu mendapat imbas dengan pikiran negatif. Saya harus segera sujud mohon maaf atas kekotoran pikiranku pada Sang Khaliq dan menyegerakan untuk beli sendal baru, untuk sholat jumat. Apakah ini awal dari pikiran kotor lagi? Semoga saya dijaga pikirannya, dari hal yang demikian itu.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda